Page 194 - Tata Kelola Pemilu di Indonesia
P. 194
memunculkan pengaturan dan kewenangan baru yang kontroversial, tak
jarang regulasi kepemiluan juga masih sangat rentan dibaca dan dipahami
dengan multi-interpretatif antar LPP. Akibatnya penanganan persoalan di
lapangan sering tidak berjalan efektif karena perbedaan pemaknaan
terhadap regulasi yang kemudian memicu perbedaan implementasi di
lapangan, baik dalam konteks penyelenggaraan maupun pengawasan dan
pencegahan.
Di lain pihak, regulasi dan penegakan kode etik penyelenggara pemilu
selayaknya dipertimbangkan untuk disempurnakan. Selama ini pengaturan
dan penanganan pelanggaran prinsip atau kode etik profesionalitas yang
sifatnya administratif, seperti kesalahan atau kelalaian penerapan prosedur
dan tata cara penyelenggaraan pemilu dan pilkada, cenderung diselesaikan
dengan mekanisme pelanggaran kode etik. Padahal pelanggaran proses
pemilu atau pilkada yang sifatnya administratif dapat diprioritaskan untuk
diselesaikan oleh Bawaslu, sesuai tingkatan, yang memiliki kewenangan
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Apalagi kemudian sanksi terhadap
pelanggaran yang bersifat administratif tidak serta merta harus selalu sanksi
etik. Sanksi pelanggaran administratif yang lebih substansial adalah
perbaikan administratif terhadap prosedur dan tata cara penyelenggaraan
pemilu atau pilkada, untuk memastikan pemenuhan hak-hak pelapor atau
pemohon. Pelanggaran yang bersifat administratif tetap dapat ditangani
dengan mekanisme pelanggaran kode etik, namun yang diperiksa dan
didalami adalah pembuktian apakah ada motif keberpihakan (pelanggaran
prinsip mandiri) dan motif kejahatan (pelanggaran prinsip integritas) dalam
kasus tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, KPU, Bawaslu dan DKPP dituntut membangun
relasi yang kritis-sinergis, khususnya dalam merespon dan mencari solusi
terhadap masalah yang disebabkan perbedaan interpretasi pelaksanaan UU
dan Peraturan KPU. Secara formal yuridis, KPU, Bawaslu dan DKPP tentu
harus senantiasa “kritis” menjalankan tugas, kewenangan dan
kewajibannya. Namun di sisi lain ketiganya memiliki tanggung jawab supaya
sinergis mensukseskan penyelenggaraan pemilu yang makin demokratis.
Relasi yang kritis-sinergis tersebut tentu tidak mudah, karena dalam
praktiknya ketiga lembaga penyelenggara, acapkali justru mengedepankan
fungsi dan kewenangan formal yuridis, yang tidak selalu dapat
menuntaskan persoalan di lapangan dan pada akhirnya saling menegasikan
178 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU

