Page 63 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 63
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
perdagangan kopi atau gaji yang didapat dari pemerintah. Tapi
dari mana pun asal-usul kekayaan mereka, yang jelas, sejak akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika Mochtar masih kanak-
kanak, keluarganya –dari pihak ibu maupun pihak ayah– sudah
memiliki berbagai properti (tanah dan bangunan) di Lubuk
Sikaping dan Fort de Kock (Bukittinggi sekarang).
Kedudukan tinggi keluarga Mochtar dalam masyarakat
dan pemerintahan Hindia Belanda, kelak membuka jalan
baginya untuk memperoleh pendidikan modern Barat yang
setaraf dengan bangsa Belanda dan Eropa lainnya. Selain
15
Mochtar, seorang kemenakan ayahnya, Mohammad Joesoef ,
dari Ganggo Mudiak, juga mendapat pendidikan di sekolah
dasar khusus bangsa Eropa, Europeesche Lagere School (ELS)
di Fort de Kock (Bukittinggi). Dengan bekal diploma ELS itu
15 Mohammad Joesoef lahir di Solok (1896), dan disebutkan berasal dari Lubuk
Sikaping. Ibunya memang berasal dari Solok, dan masih berkerabat (bersepupu)
dengan ibu Nazir Dt. Pamuncak, kelak dikenal sebagai nasionalis terkemuka
dan pernah memimpin organisasi pelajar Indonesia (PI) di Negeri Belanda
sebelum Mohammad Hatta. Setelah tamat ELS Bukittinggi, Joesoef meneruskan
ke STOVIA, sekelas dan sama tamat (1922) dengan Marie Thomas, kelahiran
Minahasa (1896), kemudian jadi istrinya. Marie Thomas adalah dokter wanita
pertama Indonesia. Tahun 1929 Dokter Joesoef menikahi Marie sehingga
kemudian lebih dikenal sebagai Dokter Marie Thomas Joesoef. Tahun 1930-an
suami-istri dokter ini pindah ke Bukittinggi, dan tinggal di sebuah rumah besar
di seberang jalan eks Gedung ELS (kini Hotel Novotel). Rumah itu kini menjadi
lokasi Kantor Bank Nagari Bukittinggi. Dokter Joesoef dikenal sebagai ahli
mata pertama di Sumatera Tengah. Sedangkan istrinya, Dokter Marie Thomas
Joesoef, tahun 1950 mendirikan Sekolah Kebidanan pertama di Biukittinggi.
Dokter Joesoef meninggal tahun 1958, sedangkan Marie T. Josoef tahun 1966,
keduanya dimakamkan di Bukittinggi. Tentang Marie Thomas lihat Ali Hanafiah
dkk (1976), hlm. 118-119.
34