Page 66 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 66
Prof. Dr. Achmad Mochtar: Ilmuwan Kelas Dunia Korban Kejahatan Perang Jepang
mereka sangat dekat dengan bahasa Melayu pasar yang menjadi
bahasa pengantar (lingua franca) dalam diplomasi Belanda,
pemerintahan, dan perdagangan di Hindia Belanda sejak zaman
VOC. 17
Menurut penelitian Graves (2007), sejak awal paruh kedua
abad ke-19, telah berdiri sekolah-sekolah negeri di kota-kota di
Keresidenen Padangsche Benedenlanden (daerah dataran rendah
pantai) termasuk di kawasan pusat administrasi (kolonial)
seperti Painan (1855), Pariaman (1854), Padang (1853), dan
Air Bangis (1854). Pada waktu yang sama sekolah (negeri) juga
dibuka di daerah pedalaman bagian utara, termasuk di pusat
pemerintahan di Lubuk Sikaping (23 km dari Bonjol), Panti
dan Talu. Dibukanya sekolah-sekolah baru tentu seiring dengan
tumbuhnya minat orang Minangkabau memasuki pendidikan
Barat yang menurut mereka ikut membawa kemajuan.
18
Minat orang Minangkabau memasuki sekolah-sekolah
sekuler yang diperkenalkan oleh Belanda, selain karena peluang
yang tersedia dalam birokrasi kolonial, juga karena pendidikan
Barat ternyata memberikan keterampilan praktis yang berguna
dalam menjalankan usaha atau perdagangan yang sudah
menjadi “bakat” orang Minangkabau sejak lama. Menurut
Graves (ibid), sebelum tahun 1870, unsur (orang) Minangkabau
17 Elizabeth E. Graves: Asal-usul elite Minangkabau Modern: Respons terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm.
149.
18 Ibid. Tentang masuknya pendidikan sekuler di Minangkabau sejak dekade kedua
abad ke-19 dan perkembangannya hingga awal abad ke-20, juga dapat dibaca
dalam Amran (1985).
37