Page 67 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 67
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
dalam birokrasi kolonial hanya sedikit kecuali menjadi
kepala gudang, jaksa, dan barangkali juga ada yang disebut
“sekretaris bumiputra”, jabatan-jabatan yang tidak banyak
menarik kelompok kelas menengah-bawah. Keluarga-keluarga
yang sudah mapan, pedagang yang sudah maju dan para
perajin biasanya lebih suka meneruskan pekerjaan-pekerjaan
sebelumnya, meskipun mereka tahu keuntungan yang dibawa
oleh pemerintah kolonial ... (Tetapi) Keluarga-keluarga tersebut
merasakan bahwa pendidikan sekuler ... sering menguntungkan
usaha mereka; suatu saat setelah anak-anak mereka memiliki
keahlian yang memadai dalam pembukuan dan surat-menyurat,
maka anak-anak tersebut ditarik keluar dari sekolah untuk
meneruskan (mengelola) usaha keluarga (Graves:150).
Meskipun tidak selamanya berjalan dengan mulus,
namun akhirnya pendidikan sekuler yang diperkenalkan
Belanda di Minangkabau bertumbuh dengan cepat. Masyarakat
Minangkabau yang terbiasa menerima pembaruan –dalam
prinsip “ambil yang baik, tinggalkan yang buruk”– dengan
penuh antusias menyambut berdirinya berbagai sekolah negeri
yang didirikan Belanda di berbagai daerah dan kota yang
dianggap penting. Bahkan belakangan, karena tidak mendapat
kesempatan masuk ke sekolah-sekolah negeri, masyarakat di
nagari-nagari pun berinisiatif mendirikan sekolah-sekolah
swasta serupa dengan mengadopsi sistem pengajaran dan bidang-
bidang yang diajarkan di sekolah yang didirikan pemerintah.
Lebih-lebih setelah tahun 1871 pemerintah kolonial mengambil
alih pendidikan di Minangkabau, dan guru-guru mendapat gaji
38