Page 72 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 72

Prof. Dr. Achmad Mochtar: Ilmuwan Kelas Dunia Korban Kejahatan Perang Jepang



                     shalat lima waktu. Tetapi berbeda dengan anak-anak sebayanya

                     yang rata-rata tidur di surau, oleh ayahnya Mochtar diharuskan

                     tidur di rumah. Sebab, di samping bersekolah dan mengaji di

                     surau, Mochtar juga dididik langsung ayahnya belajar bahasa
                     Belanda. Selain itu, kepadanya juga ditumbuhkan kebiasaan

                     membaca. Ayahnya memiliki sebuah perpustakaan kecil di

                     rumah mereka.      24

                              Meskipun ayah Mochtar sudah mengenyam pendidikan
                     Barat sejak masih sekolah, tetapi ia tidak ingin anak-anaknya

                     cuma berpendidikan Barat saja. Justru kedua orang tua

                     Mochtar melihat anak-anak harus mendapat pendidikan agama

                     Islam yang baik dari guru mengaji. Agama Islam dengan kitab

                     suci Alquran, dalam pandangan ayah Mochtar, mendorong
                     umatnya mengejar ilmu pengetahuan. Dari manapun asal

                     ilmu itu. Untuk itu ia dimasukkan ayahnya belajar mengaji

                     di surat dekat rumahnya di Ganggo Hilia. Bersama teman-

                     teman sebayanya, antara lain, A. Marzuki, Anwar, Muhammad
                     Sahab, Basir dan Marahimin, ia menuntut ilmu agama kepada

                     guru-guru mengaji seperti Malin Bandaro, Saiyah Mangku dan

                     Khatib Basyaruddin di surau tersebut.           25






                     24  Mayda Yasra (1997), hlm. 15-17).
                     25  Ibid. Menurut Mayda Yasra, kawan-kawan mengaji Mochtar juga bersekolah di
                         sekolah pemerintah yang didirikan Belanda. Makanya, kelak mereka pun bekerja
                         di lembaga pemerintahan atau perusahaan milik Belanda. A. Marzuki dan Anwar
                         kelak menjadi apoteker di Pematang Siantar, Muhammad Sahab menjadi klerk
                         di Medan, Basir menjadi stasion chef (kepala stasiun) mkereta api di Pangkalan
                         Brandan, dan Marahimin menjadi tekenaar di Medan. Hlm. 18, catatan kaki no.
                         13.

                                                           43
   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77