Page 73 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 73
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
Kebiasaan yang ditanamkan ayah Mochtar sejak ia
masih kecil, adalah mengemukakan pendapat secara bebas,
tetapi harus menghargai pendapat orang lain. Selain itu, anak-
anak juga dibebaskan memilih pendidikan sesuai denagn cita-
citanya. Mochtar sendiri sejak masa kanak-kanak sudah bercita-
cita menjadi dokter. Cita-cita ini didasari pengalaman hidup
di kampung di mana tidak ada dokter dan mantri. Ia sering
menyaksikan, banyak orang sakit tidak bisa tertolong. Mereka
hanya biasa berobat kepada dukun yang ilmu medisnya tidak ada.
Demikian pula kalau ada perempuan hendak melahirkan, juga
ditolong oleh dukun beranak yang sama sekali tidak memiliki
pendidikan kebidanan. Sehingga banyak ibu melahirkan yang
kemudian berujung kematian.
Di sisi lain, Mochtar pun mulai memahami, pendidikan
Barat yang dikenalkan Belanda, hanya menghasilkan tamatan
untuk kepentingan penjajah. Misalnya untuk menjadi klerk
(juru tulis) pada kantor pemerintah atau perusahaan Belanda.
Sementara, ia ingin mengabdi langsung kepada msayarakat.
Dalam hal ini, hanya ada dua pilihan: sekolah guru atau
sekolah dokter. Ia lebih memilih sekolah dokter karena punya
kesempatan untuk terjun langsung kepada masyarakat tanpa
memandang kedudukan dan status sosial. Kalau masuk sekolah
guru, sekolah pemerintah juga masih memilih-milih anggota
masyarakat yang punya kesempatan di terima di sekolah
pemerintah. Hanya dari kalangan tertentu saja. Berbeda dengan
dokter, dia bisa menolong semua orang sakit, dari mana pun
asalnya dan apapun status sosialnya.
44