Page 64 - KEMUHAMMADIYAHAN 03
P. 64
dengan menyelisihi dua dasar tersebut, yaitu bahwa hal
itu merupakan keharaman apa yang tidak diharamkan
oleh orang musyrik atau non muslim dan mendekatkan
diri kepadanya atas apa yang tidak disyariatkan orang
musyrik atau non-muslim. Sekiranya Allah mendiamkan
kebolehan dan keharamannya, maka hal itu merupakan
afwun (sesuatu yang maafkan/ kebolehan) yang tidak
boleh adanya sebuah hukum yang mengharamkan dan
membatalkannya. Sesuatu yang halal berarti jelas telah
dihalalkan Allah, sesuatu yang haram berarti jelas telah
diharamkan Allah dan sesuatu yang didiamkan berarti
afwun (kebolehan). Maka semua akad, syarat dan
muamalah yang didiamkan itu tidak boleh ada yang
mengharamkannya karena hal itu adalah rahmat selain
lupa dan pengabaian (pelanggaran).
Berdasarkan uraian tersebut, atas dasar inilah yang
memberikan warna fikih Hanbali terhadap sifat harakah
dan murunah yang menghalalkan permasalah-pemasalah
musykil (sulit dipecahkan) dan paling banyak dihadapi
oleh umat pada masa dahulu dan sekarang. Atas dasar ini
pula, menurut Imam Ahmad bin Hanbal bahwa masalah
ibadah tidak mungkin bisa dicapai dengan ijtihad kecuali
kita memahami maksud dari nash dan mendapatkan
pemahaman bahwa hal itu adalah yang ditetapkan bukan
sesuatu yang dihapus (mansūkh), kita melaksanakan
perintah dan tidak boleh mendahului Allah dan Rasul-
51