Page 137 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 137
bangannya, sistem pembayaran dalam bentuk panen berubah
menjadi pembayaran dalam bentuk uang dengan besaran
Rp.100.000/100 bata/siklus panen.
Sarana produksi yang dipergunakan tidak banyak yang
didatangkan dari luar desa, kecuali bibit dan pupuk. Sarana
produksi lain seperti peralatan dan tenaga kerja sebagian besar
berasal dari rumah tangga petani. Petani biasanya tidak mela-
kukan pemupukan dan penyemprotan secara intensif. Pemu-
pukan dan penyemprotan dilakukan seadanya jika dirasakan
dibutuhkan oleh petani.
Hasil tumpangsari sebagian besar dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sebagian kecil saja yang
diperjualbelikan. Penjualan hasil panen hanya dilakukan di
dalam desa atau di pasar di dekat desa. Penjualan panen biasa-
nya dilakukan jika petani membutuhkan uang dengan cepat.
Jenis tanaman yang banyak diperjualbelikan, pisang dan jagung.
Pasca okupasi jelas terjadi sejumlah perubahan kelem-
bagaan produksi-distribusi di dusun Sukamaju. Tanaman
jangka panjang perkebunan, yakni karet, digantikan kelapa
dan albasia. Kedua jenis tanaman ini sebelumnya dilarang
semasa HGU PT. Mulya Asli. Penanaman kelapa dan albasia
oleh petani dimaksudkan untuk mendapatkan jaminan hasil
jangka panjang.
Hasil kelapa dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah
tangga dan dijual di pasar lokal. Ada beberapa pedagang
pengumpul dan penampung di sekitar Sukamaju, yang biasa-
nya mengambil hasil panen kelapa langsung ke petani di
ladang. Sedangkan albasia dijual kayunya, baik di dalam desa
maupun luar desa. Sama dengan kelapa, di sekitar Sukamaju
terdapat beberapa sawmill (usaha pemotongan kayu) yang
dimiliki oleh orang lokal. Para pemilik sawmill biasanya
langsung melakukan pemanenan di lahan jika sudah ada
kesepakatan harga dengan petani. Saat ini ada mekanisme
penjualan kayu albasia yang merugikan petani, yaitu sistem
123