Page 136 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 136
113), dan Saramadoni (dalam Kodoth, tidak ada tahun), me-
nunjukkan peningkatan keterlibatan perempuan dalam akti-
vitas-aktivitas pengolahan tanah. Ini juga termasuk pekerjaan-
pekerjaan pengawasan, penyewaan tenaga kerja, pembayaran
dan juga melakukan pekerjaan di lahan garapan. Tingkat keter-
libatan bervariasi tergantung pada kasta, status sosial sebelum-
nya, dan luas lahan yang diolah.
Konteks Kelembagaan Produksi-Distribusi
di Banjaranyar 2
Kelembagaan produksi yang berkembang pada fase
sebelum terjadinya okupasi didominasi oleh perkebunan
karet yang bersifat monokultur oleh PT. Mulya Asli. Tanaman
karet dibudidayakan secara intensif melalui manajemen
perkebunan. Sarana produksi yang dibutuhkan untuk men-
dukung kegiatan perkebunan karet sebagian besar berasal dari
luar desa, seperti pupuk, bibit, pestisida/fungisida, dan per-
alatan lainnya. Penduduk lokal terlibat sangat sedikit dan
hanya sebagai tenaga buruh.
Bentuk lain dari kelembagaan produksi yang ber-
kembang sebelum okupasi adalah sistem tumpangsari. Sistem
ini dikerjasamakan untuk jenis tanaman yang tidak meng-
ganggu tanaman karet sebagai tanaman utama. Beberapa jenis
tanaman yang diperbolehkan antara lain, umbi-umbian,
singkong, kacang-kacangan, jagung, pisang dan padi. Yang
paling banyak dibudidayakan, singkong, jagung dan pisang.
Sistem ini melalui kontrak antara petani dengan per-
usahaan. Petani diwajibkan menyerahkan 10% dari hasil
panen yang didapatkan pada perusahaan. Dalam perkem-
tangga, terutama dalam konteks di mana terdapat konflik atas tanah dan
mereka mengklaim memiliki pengetahuan lebih tentang batas wilayah
yang dibuka dan dibersihkan oleh lelaki di generasi sebelumnya. Kedua,
laki-laki yang mengetahui adanya tanah nenek moyang dapat dengan
segera menguatkan klaim mereka dengan menginvestasikan kerja mereka.
122