Page 266 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 266
Khusus untuk RW 3, semua responden yang diwawan-
carai merasa keberatan untuk mengelola lahan tersebut. Selain
karena jarak yang cukup jauh dari dusunnya, alasan lain adalah
warga RW 3 merasa tidak berhak menerima tanah tersebut
dan solider dengan sebagian warga RW 1 dan 2 yang masih
memperjuangkan hak menggarap. Contoh ekstrimnya seba-
gian warga yang merasa “berhak” menggarap karena pernah
selama beberapa tahun menggarap di lahan PT. KAL jelas
menolak 11,5 Ha tersebut selama belum ada kesepakatan
dengan paguyuban petani yang sering disebut PPNT. Jika
109 RTM tersebut menolak mengelola, maka pengelolaan
pada akhirnya akan jatuh pada sekelompok orang yang
memiliki kepentingan untuk memperkaya diri sendiri,
sehingga penting dipastikan bahwa pengelolaan 11,5 ha harus
benar–benar dikelola oleh petani penggarap miskin yang sebe-
lumnya sudah menggarap di lahan tersebut.
Kekhawatiran akan penguasaan lahan 11,5 hanya oleh
beberapa pihak pun menjadi semakin nyata. Apalagi ketika
diketahui indikasi bahwa daftar Rumah Tangga Miskin
(RTM) yang disusun cenderung terdiri dari mereka yang secara
fisik tidak mampu mengelola lahan (seperti janda tua yang
ketika diwawancara pun mereka menyatakan tidak mampu
mengelola lahan tersebut, juga karena letaknya yang jauh).
Sewaktu FGD pada 12 September 2009 malam terungkap
bahwa ada ketidakpercayaan beberapa perangkat desa terha-
dap kemampuan RTM dalam mengelola lahan dan mengu-
sulkan agar pengelolaannya diberikan kepada pemerintah desa.
Sampai saat ini penentuan siapa penerima manfaat ini
belum menemukan pemecahan yang memuaskan. Pihak
PPNT sendiri sudah menyatakan menolak mentah-mentah
“kompromi 11,5 ha” ini dan tetap menuntut 80 ha yang telah
mereka reklaim sebelumnya. Sementara pihak BPN men-
jajaki kemungkinan pengelolaan 11,5 ha melalui koperasi atau
diserahkan kepada desa untuk mengatur tanah tersebut.
252