Page 29 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 29

Cilawu terkenal dengan para pedagang goloknya. Mayoritas
                   yang tersisa di desa saat itu hanya perempuan yang bekerja
                   sebagai buruh tani pencabut rumput di luar wilayah Cilawu
                   karena ada larangan mencabut rumput di areal perkebunan dan
                   jika ketahuan maka peralatan tani miliknya akan disita oleh
                   pertugas perkebunan. Hanya beberapa persen saja yang masih
                   menggarap di areal kehutanan namun lebih masuk ke areal hutan
                   yang lebih tinggi.

                   Hingga tahun 97 saat terjadi krisis moneter, karena harga
                   sembako yang kian mahal menyebabkan kehidupan di Jakarta
                   pun semakin sulit tidak menentu. Akibat situasi itu, menye-
                   babkan mereka (warga desa) memutuskan untuk kembali lagi
                   ke kampung halaman. Setelah kembali ke kampung, diawali
                   oleh usaha perluasan lahan milik salah seorang warga yang
                   berbatasan dengan areal perkebunan, muncul keinginan mereka
                   untuk menggarap kembali lahan yang ditinggalkan akibat
                   masuknya perkebunan. Pada tahun 1998, beberapa warga desa
                   (sekitar 77 kk) dari desa Mekarmukti dan Sukamukti mulai
                   menggarap kembali lahan terlantar di areal perkebunan.
                   Aksi pendudukan lahan perkebunan ini telah berlangsung
                   sebelum tergabung ke dalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat
                   Petani Pasundan (SPP). Menanggapi aksi penggarapan lahan
                   oleh warga, pihak perkebunan pun bereaksi terhadap aksi warga
                   tersebut. Akhirnya terjadi kesepakatan antara pihak perkebunan
                   dengan masyarakat. Butir kesepakatan tersebut antara lain,
                   masyarakat boleh menggarap lahan tersebut selama satu musim
                   tanam dan wajib menyetorkan biaya sewa per patok. Namun
                   pada perjalanannya timbul masalah yang disebabkan aksi
                   pematokan dan pelarangan pengarapan oleh pihak perkebunan
                   sebelum masa kesepakatan berakhir.
                   Akibat aksi pelarangan tersebut masyarakat mencari dukungan
                   dengan pihak-pihak yang dapat membantu mereka. Akhirnya
                   mereka (warga desa) ketemulah dengan kami (pendamping).
                   Saat itu belum ada SPP dan Yapemas tapi yang ada adalah
                   FPPMG dimana saya sebagai salah seorang yang melakukan
                   investigasi dan pertemuan dengan 77 kk tersebut. Tepatnya
                   sekitar hari Rabu, 7 Juli 1999, saat sedang melakukan per-
                   temuan dengan 77 kk tersebut di desa Mekar Mukti, pada waktu

             15
   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34