Page 30 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 30

yang bersamaan, tiba-tiba masyarakat di luar berbondong-
                bondong melakukan pembabatan tanaman perkebunan di blok
                Kiara Lawang.
                Sejak kejadian itu, saya bersama teman-teman yang lain
                melakukan konsolidasi dan pengorganisasian masyarakat dalam
                menuntut hak penggarapan di lahan perkebunan. Dari pertemuan
                konsulidasi tersebut terjadi kesepakatan bahwa tidak ada
                alternatif lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup kecuali masya-
                rakat mempunyai lahan garapan di lahan terlantar areal
                perkebunan. Pada saat itulah kita bangun sebuah organisasi dan
                merumuskan cara-cara yang akan kita gunakan dalam
                memperjuangkan hak atas tanah. Keinginan masyarakat waktu
                itu lebih memilih menyelesaikan masalah lewat jalur prose-
                dural, yakni lapor ke desa dan seterusnya, sambil kita meng-
                inventarisir dan mendata masyarakat yang membutuhkan tanah.
                Namun pihak desa saat itu tidak menyetujui karena dianggap
                tanah tersebut milik perkebunan. Tidak berhasil dengan desa,
                kita lanjutkan ke kecamatan sesuai keinginan masyarakat akan
                tetapi usaha ini tidak berhasil.
                Setelah berupaya kesana-kemari tidak berhasil, kita memilih
                jalur non litigasi melalui aksi reclaiming, demonstrasi dan lain-
                lain. Sampai akhirnya ada beberapa orang warga desa Dangiang
                yang ikut pertemuan di Mekarmukti karena mereka (warga desa
                Dangiang) juga mengalami persoalan yang sama, yakni tidak
                memiliki lahan garapan. Akhirnya kita berhasil mendapatkan
                lahan garapan dengan berbagai tantangan dan resiko seperti harus
                berhadapan dengan aparat Brimob, preman dan sebagainya....”
                (yn)
                Tidak jauh berbeda dengan pengalaman yang dituturkan
           Mang Asi, koordinator Serikat Petani Pasundan (SPP) Wilayah
           Garut bercerita:
                “Sejak tahun 82’ saya sudah merantau. Di desa tidak ada
                lapangan pekerjaan. Sebelum reclaiming tahun 98’, warga
                sebagian besar menjadi buruh tani sawah di luar desa yang
                mayoritas perempuan. Mereka menawarkan tenaga kepada yang
                punya tanah untuk mengolah lahannya. Yang punya tanah milik
                (jami) di desa hanya sekitar 25%. Jika punya 0,5 ha itu sudah
                orang kaya. Ada juga warga yang keluar desa untuk dagang dan

                                                                  16
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35