Page 34 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 34
g p
1950 Masyarakat (50 kk) mulai menggarap kembali lahan seluas
50 ha dan ditanami dengan tanaman sayur-mayur.
1955 Meletusnya pemberontakan DII/TII menyebabkan
masyarakat harus meninggalkan lahan garapannya
kembali karena perasaan takut. Saat itu, ada sebagian
warga yang dijadikan pasukan pager betis dengan alasan
menjaga keamanan kampung. Setelah tahun 1960, warga
kembali mengelola areal yang telah ditinggalkannya.
1973 Perhutani masuk dan menguasai areal di blok-blok
tersebut. Di areal tersebut ditanami tanaman pinus dan
rasamala dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam
penanaman tanpa ada upah. Masyarakat kembali
mengelola lahan yang pernah mereka garap dan menanam
tanaman pohon setelah ada kompensasi dari Perhutani.
Masyarakat
1985 Pohon-pohon rasamala dan pinus yang ditanam warga dan
telah siap tebang ditebang oleh Perhutani/Polisi Hutan
secara sepihak. Warga tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi
warga yang menolak atau protes akan dituduh antek-antek
PKI dan melawan hukum negara.
1986-1998 Awal tahun 1986 masyarakat mulai memanfaatkan
kembali lahan yang sudah tidak ada kayunya seluas +150
ha dengan ditanami tanaman sayur-mayur. Oleh
Perhutani, selain menggarap masyarakat juga dibebankan
untuk menanam pinus ditiap garapan masing–masing
dengan bibit yang harus dibeli dari Perhutani. Apabila
petani tidak melaksanakan intruksi tersebut maka
garapannya akan dicabut dan diklaim ilegal. Jangka waktu
menggarap dibatasi antara 2-3 tahun setelah itu pengarap
harus keluar dari lahan garapannya. Bagi petani kaya di
desa dapat keleluasaan menggarap lahan di areal Perhutani
dengan melakukan transaksi jual beli garapan dengan
pihak Perhutani serta harus menyerahkan beberapa hasil
panen mereka kepada mandor.praktek jual beli lahan di
areal hutan produksi berlangsung hingga tahun 1998.
1999-2002 Masyarakat kembali menggarap lahan yang dulunya
pernah menjadi lahan garapan mereka yaitu di Blok
Mansur, Kirikil, Pasangrahan, Kamper dan Kiara Jigjag
seluas 150 ha.
2003 Pada bulan Juli pemerintah Provinsi Jawa Barat
mengeluarkan Surat Edaran Gubernur No. 522 tentang
pelarangan tumpang sari serta mengelar Operasi Wanalaga
Lodaya yaitu sebuah operasi terpadu yang melibatkan
semua instansi untuk mengeluarkan penggarap di kawasan
hutan lindung di kaki gunung Papandayan. Meski operasi
tersebut dilakukan di desa tetangga yakni desa Sarimukti,
20