Page 37 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 37
yang kemudian dijual untuk membeli tanah. Tanah yang dibeli
tahun 2003 seharga 6 juta. Pada tahun 2005 dan 2007 Jijang
berhasil membeli motor” (HPN)
Penetrasi perusahaan kehutanan dan perkebunan negara
tidak hanya berhasil melepaskan petani dari lahan garapan
mereka (direct producer) akan tetapi turut merubah hubungan-
hubungan produksi agraris dan rejim ketenagakerjaan di
pedesaan. Seperti yang diungkapkan Pelluso (2008), sarana-
sarana penguasaan atas tenaga kerja berproses dan bergeser
terus sejak abad ke 17 hingga 20, dari persewaan hak memanen
hutan dan hak menggunakan tenaga kerja penduduk hutan
Jati, lalu ke kewajiban menyetor kayu, ke pertukaran jasa kerja
dengan pembayaran sewa tanah, sampai dengan peningkatan
pungutan pajak dan pengaturan kerja upahan di hutan.
Menjelang pertengahan abad ke 20, penduduk desa
tidak dapat lagi melarikan diri dari beratnya kehidupan ke
bagian-bagian yang jauh dan terpencil di dalam hutan, terlebih
karena semakin hilangnya tempat-tempat seperti itu. Pen-
duduk desa mengandalkan cara sembunyi untuk memperoleh
bahan bangunan dan bahan makanan: ada yang menerima
petak kecil lahan peremajaan hutan untuk digarap pertanian
sementara. Para pencocok tanam pedesaan yang bekerja di
hutan menyubsidi investasi kehutanan negara dengan meng-
hasilkan sendiri pangan mereka, entah itu dari tanah mereka
sendiri atau dari petak-petak reforestasi (reboisasi) yang dapat
mereka akses untuk sementara waktu (Pelluso, 2008).
Kondisi Kesejahteraan Petani:
“Menetes ke Bawah” di Dataran Tinggi Garut?
Meskipun sector pertanian menjadi penyumbang ter-
besar nilai tambah pendapatan daerah Garut, akan tetapi
persoalan kemiskinan penduduk di daerah pertanian, di pe-
desaan yang dihidupi para petani, masih dalam kategori tinggi.
23