Page 38 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 38
Selain masih rendahnya pendapatan yang diterima petani,
persoalan ketimpangan penguasaan lahan akibat penerapan
model penguasaan kawasan hutan dan perkebunan oleh
pemodal besar (negara atau swasta) turut menyumbang proses
pemiskinan masyarakat pedesaan agraris di dataran tinggi
Garut. Sehingga tren pergeseran dari sektor primer ke sekun-
der dan tersier tidak dapat langsung dikatakan bahwa terjadi
peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Seperti yang telah diketahui bersama, semangat rejim
orde baru dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan
asumsi “menetes ke bawah” (trickle down effect) melalui strategi
pembangunan industri padat modal di perkotaan dan pening-
katan kinerja ekspor, di salah satu sisi telah menunjukkan
kinerja positif pembangunan ekonomi dalam skala makro.
Namun di sisi yang lain telah meninggalkan, membiarkan
atau meminggirkan persoalan ketimpangan sosial-ekonomi
di pedesaan. Adapun strategi pertumbuhan ekonomi melalui
pendirian atau perluasan industri besar (padat modal) di daerah
pedesaan tidak dapat diartikan sebagai proses industrialisasi
pedesaan. Menurut Sajogyo dan Tambunan (1990), proses
industrialisasi pedesaan pada hakikatnya mensyaratkan
adanya organisasi sosial yang bersifat industrial (Sajogyo dan
Tambunan, 1990). Pada prakteknya, pola kebijakan pem-
bangunan pedesaan selama ini lebih mendukung petani yang
memiliki tanah luas atau sering yang disebut landlord biased
yang pada akhirnya mengakibatkan meningkatnya angka
kemiskinan.
Selain itu, pada banyak negara di belahan dunia ketiga
khususnya Indonesia, pelaksanaan strategi pembangunan
telah mengesampingkan fokusnya dari sektor pertanian dan
pedesaan ke arah industrialisasi yang tumbuh di pusat per-
kotaan atau sering diistilahkan “bias kota” (urban bias) (Grif-
fin, Khan dan Ickowictz, 2002). Oleh Sajogyo (1992) dalam
tulisannya yang bertajuk Modernization without Development
24