Page 75 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 75
imbalan pada para petani berupa hak untuk menanam
tanaman pertaniannya di sela-sela tanaman pokok hutan.
Dengan sistem ini petani bisa mendapatkan lahan garapan
untuk pertaniannya sampai tajuk tanaman pokok kehutanan
menaungi tanamannya, biasanya mencapai umur 2 tahun.
Dengan sistem tumpang, hutan dapat ditanam sekaligus
aman dari gangguan pencurian. Sistem tumpang sari ini
kemudian dikukuhkan dalam Petunjuk Teknis Tanaman Jati
pada tahun 1935 yang sampai sekarang belum mengalami
perubahan (Tim Bina Swadaya, 2001).
Bentuk Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan
Hutan di Jawa Pasca Kolonial
Hingga akhirnya pada tahun 1974, wewenang penge-
lolaan hutan Jawa diserahkan ke Perum Perhutani yang kemu-
dian mengembangkan Pendekatan Kesejahteraan (Prosperity
Aproach) dengan menggulirkan program Ma-Ma (Mantri-
Lurah) dan beberapa model-model proyek sosial lain, seperti
intensifikasi massal tumpang sari, intensifikasi khusus
tumpang sari, proyek magersaren, proyek checkdam, kaptering
air, lebah madu, tegakan kayu bakar, tanaman obat-obatan,
tanaman rumput gajah, ulat sutera, wanawisata, dan peng-
hijauan. Tetapi berbagai program tersebut tetap menyisakan
sejumlah persoalan. Aspek sosial masyarakat masih terabai-
kan, dan model ideal yang direncanakan, ketika di lapangan
terbentur banyak hal dengan persoalan teknis dan etik, mulai
dari sosialisai yang tidak jalan hingga perilaku korup mandor-
mandor Perhutani.
Perubahan terjadi lagi pada tahun 1978 setelah diadakan-
nya Konggres Kehutanan Dunia ke VIII di Jakarta yang
mengambil tema Forest for People, yang merupakan kelanjutan
dari tema konggres sebelumnya di Seatle, yaitu Multiple Use
of Forest Land. Tema Forest for People dalam konggres tesebut
melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan hutan, yaitu
61