Page 117 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 117
Kesepakatan semula, frasa yang digunakan Panja Baleg maupun pemerintah, adalah UMP
dihitung dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Artinya jika pertumbuhan ekonomi Indonesia
normalnya berada di angka 5% dan inflasi di kisaran 3%, besaran penyesuaian upah minimum
yang bisa diterima buruh berada di kisaran 8%.
Namun, dalam pembahasan terakhir, pemerintah justru menginginkan kata "dan" dalam klausul
penentuan UMP diubah menjadi "atau". Ketentuan ini memberikan ruang kepada penentu
kebijakan pengupahan untuk memilih pertumbuhan ekonomi atau inflasi dalam menentukan
besaran upah minimum provinsi.
Walhasil, dalam rezim pengupahan yang baru, besaran UMP hanya berada di kisaran 3% - 5%.
Nasib serupa juga berlaku bagi pekerja yang terkena PHK. Uang pesangon yang mereka terima
hanya 25 kali gaji. Padahal, jumlah pesangon dalam aturan sebelumnya sebanyak 32 kali gaji.
Massa melakukan aksi menolak UU Cipta Kerja di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Jawa Barat, Kota Bandung, Selasa (6-10-2020). - Antara Catatan lain di luar
konteks ketenagakerjaan yang cukup menarik adalah masuknya revisi sejumlah substansi dalam
empat undang-undang terkait perpajakan.
Pembahasan substansi empat beleid ini seperti siluman, tak pernah disampaikan kepada publik
namun tiba-tiba ada dalam salah satu klaster di UU Ciptaker. Pembahasan klaster perpajakan
juga sangat berbeda dengan pembahasan klaster-klaster lainnya yang dibuka secara umum oleh
pemerintah maupun DPR.
Keempat UU yang dimaksud adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), serta UU
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Melalui revisi substansi empat aturan ini, pengusaha dapat bernafas lega, karena mereka
mendapat relaksasi dari sisi tarif, mekanisne pengkreditan pajak, sanksi administratif, hingga
imbalan bunga.
Meski demikian, revisi empat beleid tersebut, juga berpotensi mengubah hubungan pusat dan
daerah, terutama melalui revisi substansi UU PDRD. Substansi UU Ciptaker memberi kewenangan
pemerintah pusat dalam mengintervensi kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan oleh
pemda.
Intervensi pemerintah pusat mencakup kewenangan mengubah tarif pajak dan tarif retribusi
dengan penetapan tarif pajak dan tarif retribusi serta kewenangan pengawasan dan evaluasi
terhadap peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi yang menghambat ekosistem investasi
dan kemudahan dalam berusaha.
Tak hanya itu, UU Ciptaker juga memberikan kewenangan Menteri Keuangan, sebagai otoritas
fiskal untuk mengevaluasi kebijakan politik pemerintah daerah. Kebijakan politik yang dimaksud
terkait rancangan peraturan daerah (raperda) pajak atau retribusi.
Kewenangan yang terlampau luas pemerintah pusat ini berpotensi menganggu hubungan pusat
dan daerah yang dijamin prinsip-prinsip pemerintah daerah. Superioritas pemerintah pusat juga
tidak sesuai dengan UU Tentang Pemeruntahan Daerah.
Apalagi salah satu bunyi pasal tentang UU Pemerintahan Daerah adalah pemberian otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah, dengan harapan pemberian otonomi ini dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah bisa segera terealisasi.
116