Page 116 - Berita Omnibus Law Cipta Kerja 17-18 Februari 2020
P. 116

Dia melanjutkan, Pasal 59 UU 13/2003 juga dihapus. Padahal, kata dia, dalam pasal itu diatur syarat
               kerja kontrak, batasan waktu agar tidak mudah di-PHK. dan menghindarkan buruh dari eksploitasi
               yang terus-menerus.
               "Dengan hilangnya pasal ini, bisa dipastikan tidak ada lagi pengangkatan pekerja tetap. Dampak yang
               lain, otomatis pesangon hilang. Karena pekerja kontrak tidak perlu diberikan pesangon jika dipecat
               oleh perusahaan," imbuhnya.
               5. Outsourcing Seumur Hidup

               Di dalam RUU Cipta Kerja, kata dia, outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan
               tidak ada batas waktu. Dengan demikian, buruh bisa saja di-outsourcing seumur hidup. Padahal dalam
               UU  13/2003,  outsourcing  hanya  dibatasi  untuk  5  (lima)  jenis  pekerjaan  yang  bukan  core  bisnis.
               "Dengan ketentuan ini, bisa dipastikan perbudakan modern akan terjadi di mana-mana," ungkapnya.

               Karena, kata dia, perusahaan akan berbondong-bondong mempekerjakan buruh outsourcing untuk
               menghindari tuntutan dari pekerja. Semua jenis pekerjaan bisa mempekerjakan buruh outsourcing
               tanpa  melihat  pekerjaan  inti  (core)  atau  tidak  core.  Sebelumnya,  buruh  outsourcing  hanya  boleh
               digunakan hanya untuk pekerjaan bukan core/inti dengan batas waktu tertentu.

               Pekerja outsourcing tidak mendapatkan pesangon. Bahkan bisa dibayar per jam (satuan waktu) yang
               mengakibatkan upah yang diterima di bawah upah minimum. Dampak yang lain, outsourcing tidak
               mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akibat hanya dipekerjakan beberapa jam.

               6. Jam Kerja yang Eksploitatif
               Dia mengatakan, di dalam RUU Cipta Kerja diatur waktu atau jam kerja adalah 40 jam seminggu. Hal
               tersebut, kata dia, menyebabkan pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam.
               Padahal dalam UU 13/2003 diatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam
               sehari untuk 5 hari kerja. "Lalu buat apa ada negara kalau tidak melindungi rakyatnya,. Ini tak ubahnya
               seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif," ujarnya.

               Karena, kata dia, bisa saja pengusaha memerintahkan buruh bekerja 12 jam sehari selama empat hari
               kerja  tanpa  dibayar  upah  lembur,  seperti  kerja  rodi  dan  bersifat  eksploitatif.  "Berarti  tidak  ada
               perlindungan negara terhadap rakyat dan buruh Indonesia. Dengan RUU Cipta Kerja ini akan terjadi
               situasi waktu/jam kerja yang eksploitatif, upah murah, outsourcing dan karyawan kontrak seumur
               hidup, serta mudah di-PHK tanpa pesangon," imbuhnya.

               Selain itu, kata dia, lembur bisa dilakukan lebih lama. Jika dalam UU 13/2003 hanya boleh maksimal
               14 jam, dalam RUU Cipta Kerja menjadi 18 jam. Akibatnya buruh akan kelelahan dan rentan terjadi
               kecelakaan kerja.

               Bahkan, hari libur yang biasanya dua hari dalam seminggu, dalam RUU Cipta Kerja dibuat hanya satu
               hari. Dia mengatakan, hal lain yang menyakitkan bagi buruh, cuti besar atau istirahat panjang selama
               2 bulan bagi kelipatan masa kerja 6 tahun dihilangkan. "RUU Cipta Kerja benar-benar membuat kaum
               buruh tertindas. Seolah olah negara ini hanya melindungi kepentingan pengusaha saja atas nama
               investasi. Apakah negara ini hanya milik pemilik modal?" kata Iqbal.
               7. TKA Buruh Kasar Unskill Worker Berpotensi Bebas Masuk ke Indonesia

               Dia menuturkan, hal tersebut terlihat dari dihapuskannya izin tertulis dari Menteri bagi Tenaga Kerja
               Asing (TKA) yang hendak bekerja di Indonesia. Selain itu, kata dia, TKA untuk start-up dan lembaga
               pendidikan dibebaskan, bahkan tanpa perlu membuat rencana penggunaan TKA. Tidak adanya izin,
               menyebabkan TKA buruh kasar bisa masuk ke Indonesia dengan mudah tanpa terdeteksi.

               Kewajiban TKA untuk memahami budaya Indonesia hilang. Dengan demikian, TKA tidak diwajibkan
               bisa berbahasa Indonesia. Dampaknya, transfer of job dan transfer of knowledge sulit untuk dilakukan.
   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121