Page 26 - Berita Omnibus Law Cipta Kerja 17-18 Februari 2020
P. 26
Presiden pun meminta untuk dilakukan perbaikan aturan-aturan yang dinilai menghambat. "Ini ada
apa? Kita harus mau introspeksi. Masalahnya ada pada ruwetnya perizinan di pusat termasuk di
daerah. Ruwet semuanya," tegas Presiden Jokowi saat pembukaan rakornas di Sentul, Bogor.
Atas dari inilah pemerintah mencetuskan Omnibus Law atau peleburan Undang-Undang. Menurut
Asisten Deputi Humas Kementerian Sekretariat Negara, Eddy Cahyono Sugiarto, Omnibus Law
dilakukan untuk menyederhanakan, memangkas, serta menyelaraskan berbagai regulasi yang
tumpang--tindih atau pun bertentangan dalam rumpun bidang yang sama.
Secara historis, praktik penerapan Omnibus Law telah banyak diterapkan di negara--negara penganut
sistem common law yang bertujuan untuk memperbaiki regulasi dalam rangka meningkatkan iklim
serta daya saing investasi.
Sebagai gambaran, penerapan Omnibus Law di Amerika Serikat (AS) cukup sering menggunakan
hukum omnibus, utamanya untuk merangkum beberapa aturan yang lebih kecil. Penggunaan hukum
itu biasanya terjadi dalam aturan untuk mendanai badan pemerintah, dan mencegah penutupan
layanan negara (shutdown).
Adapun jika dirunut sejarahnya, pada abad 19, setidaknya AS mencatat mempunyai tiga Omnibus Law
yang cukup signifikan. Salah satunya adalah Kompromi 1850 berisi lima ketentuan berbeda yang
dirancang oleh Senator Henry Clay dari Kentucky.
Saat itu, Clay membuat kompromi tersebut guna meredam perbedaan yang bisa mengancam
pemisahan diri dari negara bagian yang tidak melarang perbudakan. Satu lagi adalah Omnibus Law
pada 22 Februari 1889. Mengatur penerimaan empat negara bagian ke AS: North dan South Dakota,
Montana, dan Washington.
Di Irlandia, pemerintah setempat mengesahkan Amendemen Kedua Konstitusi pada 1941, berisi
perubahan fundamental pada aturan hukum di sana. Kemudian di Selandia Baru, sebuah Omnibus Law
disahkan pada November 2016 berisi legislasi bagi Wellington untuk memasuki Kerja Sama Trans
Pasifik (TPP). Kemudian di Australia, Canberra menelurkan Artikel 55 dalam Konstitusi berisi UU yang
mengubah sejumlah perpajakan.
Oleh karena itu, dia melanjutkan, pilihan strategi Indonesia dalam menerapkan Omnibus Law
sangatlah make sense mengingat iklim investasi dan daya saing Indonesia masih tertinggal
dibandingkan negara lain (peer group) seperti Malaysia dan Thailand.
"Hal tersebut tercermin dari laporan 'Ease of Doing Business (EODB)' 2020 yang dirilis oleh Bank Dunia,
Indonesia masih berada di peringkat 6 besar negara di ASEAN dengan total skor 69,6 sedangkan
Malaysia dan Thailand masing masing memiliki total skor 81,5 serta 80,1," jelas Eddy seperti dikutip
dari laman Setneg.go.id.
Eddy menilai upaya untuk menciptakan lompatan besar demi mendekatkan visi Indonesia Maju pasti
membutuhkan sinergi berbagai bauran kebijakan dalam mendukung investasi yang dapat dilakukan
menggunakan instrumen Omnibus Law.
Upaya pemerintah Indonesia dalam menggenjot laju investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional
selaras dengan argumen Hermes & Lensink (2003) yang menyatakan bahwa Foreign Direct Investment
(FDI) memiliki dampak positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi terhadap negara penerima
di mayoritas negaranegara Amerika Latin dan Asia.
Sebagai negara berkembang dengan mayoritas penduduk usia produktif, peran investasi dalam
menyediakan lapangan kerja untuk mendorong sektorsektor produktif menjadi fokus yang perlu
mendapat perhatian.