Page 10 - Proyek E-Book Interaktif 3_Neat
P. 10
ini kemudian diperparah dengan masuknya imigran Jepang yang tentu saja membuat
pemerintah kolonial khawatir terutama terhadap ancaman ketergantungan ekonomi.
Pemerintah kolonial semakin khawatir tatkala perusahaan-perusahaan Jepang
yang menanamkan modalnya merupakan perusahaan nasional atau perusahaan yang
memiliki kedekatan/hubungan dengan militer Jepang. Nanyo Kohatsu menjadi salah satu
contoh hadirnya perusahaan Jepang yang memiliki kaitan dengan militer. Kekhawatiran
pemerintah kolonial semakin menjadi-jadi ketika Jepang mulai meminta konsesi-konsesi
di Hindia Belanda seperti konsesi penebangan kayu dan konsesi penangkapan ikan.
Kekhawatiran pemerintah kolonial disebabkan bahwa beberapa konsepsi yang diajukan
oleh Jepang sebenarnya kurang menguntungkan dari segi ekonomi, namun
menguntungkan untuk menanamkan pengaruh dan mencari tahu mengenai keadaan di
Hindia Belanda. Kekhawatiran pemerintah kolonial kemudian mendorong pemerintah
kolonial untuk membuat regulasi yang membatasi pengaruh ekonomi Jepang. Regulasi
yang dibuat oleh pemerintah kolonial meliputi pengurangan imigrasi buruh Jepang,
membatasi pelayaran bagi perusahaan Jepang dan menambah monopoli bagi KPM,
pembatasan impor dari Jepang dan pelarangan penangkapan ikan oleh pihak asing di
perairan Hindia Belanda. Keputusan pemerintah kolonial tentu saja menyebabkan aksi
protes dari pihak Jepang, sehingga pada tahun 1934 antara pemerintah kolonial dan
Jepang bersepakat untuk melakukan perundingan.
Perundingan tahun 1934 dihadiri oleh Haruchi Nagaoka dari pihak Jepang dan
Meyer Ranneft dari pihak Hindia Belanda. Hal menarik yang terdapat dalam pertemuan
ini adalah mulai terlihatnya ambisi politik Jepang dalam menciptakan kemakmuran di
Asia Timur Raya. Pihak kolonial pun menyebut kedatangan Jepang tidak dimaksudkan
untuk merundingkan perdagangan, melainkan membicarakan mengenai politik. Tak lama
Jepang mengirimkan nota kepada pemerintah kolonial mengenai penghapusan
pembatasan-pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial, namun pihak
pemerintah kolonial menolak dan mengajukan usul mengenai pengaturan pembelian
tekstil dan gula. Pemerintah kolonial menawarkan kesepakatan kepada Jepang dimana
pihak Jepang diwajibkan membeli gula dan tekstil dari Hindia Belanda, sebagai gantinya
Jepang bebas melakukan ekspor ke Hindia Belanda dalam jangka waktu lima tahun.
Perundingan tahun 1934 gagal mencapai kesepakatan diakibatkan pemerintah kolonial
berpegang teguh pada prinsip melindungi ekonominya dan hanya mau membicarakan
mengenai penjualan tekstil dan gula, praktis pemerintah kolonial menolak semua nota
yang diusulkan oleh Jepang. Secara tidak sadar, akibat pemerintahan de Jonge yang gagal
membaca situasi diplomasi pada waktu itu, aksi penolakan yang dilakukan telah
menimbulkan bahaya di kemudian hari.
b. Birokrasi Pada Masa Pemerintahan de Jonge
Kepemimpinan de Jonge diwarnai dengan penguatan kembali birokrasi yang
didominasi oleh Binnenlands Bestuur (BB). Masa kepemimpinan de Jonge memiliki
tujuan umum menjaga ketertiban (tata tenteram) dan memangkas segala reformasi yang
ada terlebih jika berkaitan dengan pengeluaran anggaran. Hindia Belanda sekali lagi
masuk pada zaman kepegawaian yang diisi oleh pegawai Binnenlands Bestuur yang
berasal dari kalangan Eropa. Pada masa de Jonge, Korps BB kembali mendapatkan
9