Page 14 - Proyek E-Book Interaktif 3_Neat
P. 14
B. Kondisi Politik Kepemimpinan Tjarda (1936-1941)
Sikap politik Tjarda tidak bisa dilepaskan dari kondisi dan tekanan yang dihadapi.
Ada beberapa tekanan politik yang dihadapi oleh Tjarda hingga tahun 1941 seperti
tuntutan dari kaum pergerakan, tekanan politik Jepang, tuntutan politik Belanda dan
adanya kekuatan politik NSB yang lekat dengan NAZI di Eropa. Perkembangan NSB
cukup pesat di Hindia Belanda terutama dikalangan Eropa tulen dan Indo. kedua
golongan tersebut menaruh simpati yang cukup besar terhadap NSB dikarenakan NSB
memiliki ideologi rasial yang lebih mengutamakan golongan Eropa ditambah adanya
kultur-psikologi yang dimiliki orang Eropa dimana mereka menganggap bangsa Eropa
satu-satunya bangsa beradab. Menguatnya NSB beriringan dengan semakin nyaringnya
suara NSB terutama mengkritik pemerintahan Tjarda yang lemah dan gagal dalam
menjamin keamanan, ketertiban serta jaminan sosial ekonomi. Suara NSB ini semakin
keras tatkala beberapa petinggi NSB tidak diterima kedatangannya oleh Tjarda.
Kritik terhadap Tjarda terutama terkait kompetensinya dalam menjaga keamanan
dan ketertiban semakin nyaring tatkala sebuah skandal homoseksual dan pedofilia
merebak di kota-kota besar seperti Surabaya dan Batavia. Kritik keras dilontarkan partai
berhaluan konservatif Christelijke Staatkundige Partij (CSP) dan mentri kolonial Charles
Joseph Ignace Marie Welter. Guna menanggapi kritik-kritik yang ada, Tjarda menggelar
operasi moral dengan menangkap dan menghukum pelaku homoseksual. Beberapa
skandal berhasil diselesaikan misalnya yang menyangkut anak-anak HBS dan MULO.
tujuan operasi ini jelas untuk menunjukkan kekuatan pemerintahan kolonial dan menepis
anggapan lemahnya pemerintahan Tjarda dalam menegakkan ketertiban. Operasi yang
digelar Tjarda kenyataanya masih menuai kritikan, terutama berasal dari kaum
pergerakan. Kaum pergerakan seperti Thamrin mengkritik hukuman yang dijatuhkan
ternyata lebih ringan daripada hukuman yang dijatuhkan kepada kaum pergerakan.
Haluan politik pemerintahan Tjarda menemui persimpangan jalan. Tjarda
dihadapkan dua pilihan yang cukup berat berkaitan dengan haluan politik dan hubungan
terhadap kaum pergerakan. Pilihan pertama adalah mempertahankan haluan politik de
Jonge yang kaku dan tertutup dan yang kedua adalah melakukan perubahan dan
menerima saran dari kaum pergerakan. Tjarda mencoba mengadakan perubahan-
perubahan serta menerima beberapa tuntutan misalnya pengurangan jumlah tahanan
Digoel serta memproses lebih lanjut Petisi Soetardjo yang sempat dihentikan oleh de
Jonge. Petisi Soetardjo pada akhirnya ditolak oleh parlemen Belanda, namun Tjarda
masih berusaha mencoba merealisasikan beberapa tuntutan yang terdapat dalam petisi
tersebut. Usaha yang dilakukan Tjarda dalam mendorong kemandirian koloni seperti
yang menjadi tuntutan Petisi Soetardjo tertuang dalam kebijakannya yang mendirikan
Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (FLW) yang menjadi fakultas ilmu murni pertama
di Hindia Belanda. Kebijakan Tjarda yang mengadakan perubahan di luar koridor politik
nyatanya tidak memuaskan golongan pergerakan, dikarenakan kaum pergerakan
menuntut Kemandirian Parlemen atau Indonesia Berparlemen yang tentu saja segera
ditolak oleh menteri kolonial karena dapat mengancam keutuhan Hindia Belanda.
13