Page 17 - Proyek E-Book Interaktif 3_Neat
P. 17
eksistensi Hindia Belanda dan siap berdiri di belakang Ratu. Tjarda juga melihat bahwa
pidato Ratu Wilhelmina yang berjudul Vlammend Protest yang berisikan kecaman
terhadap pendudukan Jerman atas Belanda, Belgia dan Luksemburg mendapatkan
respon positif dan dukungan dari masyarakat. Sayangnya, lagi-lagi usulan Tjarda ditolak
oleh pemerintah Belanda di London dengan dua alasan. Pertama, iklim tropis tidak cocok
bagi Kesehatan Ratu. Kedua, perpindahan Ratu akan memunculkan stigma di mata
internasional bahwa pemerintah Belanda hanya bisa berpindah tempat dengan kata lain
melarikan diri dari suatu tempat ke tempat yang lain. Pada titik ini pemerintah Belanda
dan terutama Tjarda telah gagal mengambil simpati dari pribumi sehingga akan
berpengaruh dalam eksistensi Hindia Belanda di kemudian hari, satu-satunya harapan
bagi Tjarda dalam mempertahankan imperiumnya adalah mempersiapkan kondisi perang
lewat Kerjasama dengan negara-negara kolonial di sekitarnya seperti Amerika Serikat di
Filipina dan Inggris di Malaya.
Penolakan dan sifat keras kepala pemerintah Belanda yang kemudian
direalisasikan oleh Tjarda tidak hanya membuat jarak antara pemerintah kolonial dengan
pribumi terutama kaum pergerakan, akan tetapi juga menyebabkan Sebagian kaum
pergerakan menaruh simpati kepada Jepang yang menurut mereka akan menjadi pihak
ketiga yang akan membebaskan (memerdekakan) Indonesia dari Belanda. Kaum
pergerakan melihat bahwa negara kolonial lain misalnya Amerika Serikat dan Inggris
telah menjanjikan kemerdekaan bagi koloninya guna menarik simpati dan dukungan, lain
halnya pemerintah Belanda yang justru menutup mata, dengan demikian satu-satunya
jalan untuk terwujudnya pemerintahan mandiri adalah bekerjasama dengan pihak ketiga
yang mau campur tangan. Kaum pergerakan melihat Jepang sebagai pihak ketiga yang
potensial karena kebangkitan dan kemenangan Jepang mampu membuat negara-negara
barat terguncang, sehingga beberapa kaum pergerakan seperti Thamrin segera
melakukan hubungan komunikasi dengan Jepang termasuk membentuk jalinan Asia
Raya.
Sikap politik Belanda yang keras dan terkesan tidak mengakomodasi aspirasi
kaum pergerakan salah satunya disebabkan kondisi Belanda dan koloninya yang
dihadapkan pada peperangan, sehingga diperlukan Tindakan tegas untuk menciptakan
kestabilan. Pemerintah Kolonial memandang aspirasi dari kaum pergerakan seperti
“Indonesia Berparlemen” sebagai sebuah ancaman dan bila pun pemerintah kolonial
bekerjasama dengan kaum pergerakan, maka yang terjadi setelahnya kaum pergerakan
akan menagih janji-janji tersebut. Sebagian besar orang-orang Belanda masih merasa
superior atas orang-orang Pribumi ditambah Hindia Belanda merupakan koloni yang
berharga. Beberapa usaha untuk memperbaiki hubungan dan mengakomodasi aspirasi
dilakukan dengan membentuk komisi Visman, namun usaha komisi ini sia-sia karena
kaum pergerakan pun curiga dengan tugas komisi tersebut. Arogansi pemerintah kolonial
juga ditunjukkan dengan pembentukan Vrijwillige Oefencorpsen (VOC) dimana VOC
menorehkan luka masa lalu di dalam alam pikiran masyarakat pribumi. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sifat represif pemerintah kolonial disebabkan beberapa hal,
pertama, pemerintah Belanda tidak memahami alam pikiran masyarakat pribumi. Kedua,
pemerintah kolonial tidak memiliki kekuatan penuh untuk melakukan perubahan. Ketiga,
kekhawatiran Belanda kehilangan koloninya yang paling berharga. Puncak renggangnya
hubungan antara pemerintah kolonial dengan kaum pergerakan setelah pemerintah
16