Page 16 - Proyek E-Book Interaktif 3_Neat
P. 16
Berkenaan dengan hubungan ekonomi Hindia Belanda-Jepang, sebenarnya telah
dilakukan sebelum tahun 1940 dengan hasil yang
positif, namun sejak tahun 1940 misi diplomatic
Jepang tidak lagi hanya urusan ekonomi, namun
juga menyentuh ranah politik. Pernyataan
Kuniaki Koiso pada September 1940
memperjelas maksud Jepang terhadap urusan
politik dimana Koiso menyatakan bahwa Jepang
tidak akan berurusan dengan Hindia Belanda
apabila pemerintah kolonial itu masih menindas
rakyat, namun Tjarda tidak terlalu menanggapi
dan masih menerima kedatangan Kobayashi
sebagai utusan Jepang. Audiensi dengan
Kobayashi tidak menghasilkan sesuatu yang
memuaskan, termasuk misi diplomatic
selanjutnya yang dilakukan oleh Kenkichi Yoshizawa. Yoshizawa mengharapkan Hindia
Belanda meningkatkan kuota ekspor bahan mentah terutama minyak dan karet
mengingat kondisi ekonomi Jepang yang tertekan akibat embargo Amerika Serikat,
namun Hindia Belanda memilih untuk menolak keinginan Yoshizawa. Penolakan Hindia
Belanda sebenarnya didasarkan pada kebijakan pengurangan produksi karet tahun 1936,
meskipun kebijakan ini memperkuat posisi politik Hindia Belanda di mata internasional
(menghindarkan anggapan defaitis) namun kebijakan ini memperburuk hubungan
pemerintah kolonial dengan bumiputera. Kebijakan pembatasan produksi karet
menyebabkan ekonomi bumiputera menurun, terutama yang mengandalkan penghasilan
dari produksi karet. Hubungan diplomatik antara Jepang dan Hindia Belanda berakhir
pada bulan Juli tahun 1940 setelah misi terakhir Yoshizawa gagal dalam meyakinkan
Hindia Belanda untuk meningkatkan kuota ekspor, selain itu berakhirnya hubungan ini
diduga diakibatkan dari pernyataan Menlu Jepang, Yosuke Matsuoka yang mengklaim
Hindia Belanda sebagai bagian dari wilayah persemakmuran Jepang. Pernyataan
Matsuoka bagi Tjarda menandakan bahwa tak lama lagi Hindia Belanda akan terlibat
perang besar dengan Jepang.
Tjarda yang menyadari akan potensi bahaya perang segera menghubungi
pemerintah Belanda untuk menyampaikan pendapatnya mengenai pemberian
kemandirian koloni yang bertujuan guna menarik simpati dan dukungan rakyat terutama
pribumi. Tjarda beranggapan simpati dan dukungan pribumi sangat penting dalam
kondisi genting guna mempertahankan koloni Hindia Belanda.. Sayangnya, usulan itu
segera ditolak dengan alasan pemerintah Belanda enggan kehilangan koloninya yang
paling bernilai baik secara ekonomi maupun politik, terlebih posisi Belanda yang sedang
tidak di dalam wilayahnya sendiri. Tjarda kemudian berusaha menenangkan golongan
pergerakan yang bersifat radikal yang tergabung ke dalam GAPI namun dengan segera
Tindakan Tjarda menuai kecaman. Tjarda kemudian mengusulkan kepada pemerintah
Belanda untuk membawa Ratu Wilhelmina ke Hindia Belanda guna meningkatkan moral,
kepercayaan dan simpati masyarakat terutama Pribumi, mengingat beberapa golongan
Pribumi seperti dr. Tjipto, penguasa Vorstenlanden dan Agus Salim mendukung
15