Page 9 - Proyek E-Book Interaktif 3_Neat
P. 9
B. Kepemimpinan Reaksioner de Jonge
Bonifacius Cornelis de Jonge dikenal sebagai gubernur jenderal yang dalam
kepemimpinannya dikenal represif dan reaksioner, terutama terhadap gerakan yang
dianggap merusak ketentraman dan ketertiban. Gubernur de Jonge secara resmi
menerima serah jabatan pada tahun 1931. Secara corak politik, de Jonge cenderung pada
spektrum politik konservatif reaksioner dan memiliki kedekatan dengan golongan
Christelijk-Historische Unie yang mendasarkan konservatisme agama. Tidak bisa
dipungkiri sifat reaksionis kepemimpinan de Jonge disebabkan sebagai bentuk reaksi dari
lunaknya kepemimpinan gubernur jenderal sebelumnya yang menyebabkan krisis
ketentraman dan ketertiban di Hindia Belanda. Faktor lain yang menyebabkan
kepemimpinan de Jonge memiliki bersifat reaksioner adalah adanya kondisi depresi
ekonomi yang masih melanda tak terkecuali di Belanda. Kondisi di Belanda memberikan
tekanan bagi de Jonge untuk menjaga ketertiban, menekan pengeluaran dan menguatkan
otoritas kekuasaan pemerintah terhadap koloni, sehingga menimbulkan kesan
kepemimpinan de Jonge selain reaksioner juga tangan besi.
a. Kondisi dan Kebijakan Ekonomi masa de Jonge
Kepemimpinan de Jonge diwarnai dengan kondisi krisis ekonomi malaise, selain
itu juga mulai masifnya usaha Jepang untuk menanamkan pengaruh ekonominya di
Hindia Belanda. Masifnya masuknya ekonomi Jepang sebenarnya telah dilakukan sejak
adanya Restorasi Meiji dimana Jepang membuka diri terhadap interaksi dengan negara
lain termasuk dalam interaksi ekonomi. Jepang semakin bertindak masif dalam usaha-
usaha ekonomi terutama sejak kemenangan Jepang melawan Tiongkok pada tahun 1895.
Usaha Jepang dalam menanamkan ekonominya meliputi pendirian pabrik, tambang dan
penanaman modal atau investasi di berbagai daerah. Kuatnya ekonomi Jepang ini tak bisa
dilepaskan dari dukungan para klan-klan Jepang yang mendirikan perusahaan yang
disebut Zaibatsu. Zaibatsu memiliki modal finansial dan politik yang kuat warisan dari
zaman feodal, sehingga Zaibatsu mampu mempengaruhi arah ekonomi Jepang.
Besarnya pengaruh Jepang di Asia Timur kemudian meluas hingga Asia Tenggara
tak terkecuali Hindia Belanda. Hubungan ekonomi antara Hindia Belanda dengan Jepang
pada dasarnya sudah terjalin sejak tahun 1920-an di mana Jepang mengimpor bahan
baku dan Hindia Belanda mengimpor barang-barang murah yang diproduksi Jepang.
Hubungan ekspor-impor ini semakin naik dari tahun ke tahun hingga pada tahun 1926-
1928 angka impor dan ekspor adalah sama, sedangkan pada tahun 1930 angka impor
Hindia Belanda lebih besar dari angka ekspornya. Hal ini tentu saja menimbulkan
ketimpangan ekonomi. Tahun 1930 barang-barang Jepang yang murah semakin
membanjiri di pasar Hindia Belanda mulai dari bola lampu, meja, sepeda, permen, sabun
cuci hingga bir. Jepang juga berusaha memonopoli semua kegiatan ekonomi di Hindia
Belanda termasuk mendirikan berbagai perusahaan dan industri serta jalur pelayaran.
Hindia Belanda semakin terpukul tatkala Jepang tidak lagi mengimpor gula dari Jawa
tetapi justru mengekspor gula yang diproduksi dari Formosa ke Hindia Belanda. Keadaan
8