Page 8 - Proyek E-Book Interaktif 3_Neat
P. 8

BAB I


                Kondisi Hindia Belanda Pada Masa Kepemimpinan Gubernur Jenderal De Jonge
                                                       (1931-1936)



                   A.  Hindia Belanda sebelum De Jonge


                              Hindia  Belanda  mengalami  masa-masa  krisis  sebelum  Bonifacius  de  Jonge
                       menjabat sebagai Gubernur Jenderal. Krisis yang dialami oleh Hindia Belanda meliputi
                       krisis politik dan ekonomi. Hindia Belanda sebelum kepemimpinan De Jonge dijabat oleh
                       Limburg Stirum dan De Graeff yang dikenal sebagai gubernur jenderal yang lunak. Pada
                       masa  Stirum  misalnya,  dibentuk  lembaga  parlemen  di  Hindia  Belanda  yang  bernama
                       Volksraad  sekalipun  fungsi  sebagai  parlemen  tidak  berjalan  sebagaimana  mestinya.
                       Stirum juga menjanjikan janji November guna meredakan suara-suara vokal para oposisi
                       nasionalis Indonesia. De Graeff bahkan lebih jauh dikenal sebagai gubernur jenderal yang
                       sangat  peduli  terhadap  kesejahteraan  rakyatnya.  Sayangnya,  kepemimpinan  dua
                       gubernur jenderal itu menghadapi beberapa tantangan baik politik dan ekonomi sehingga
                       mendorong situasi pada waktu itu ke dalam situasi krisis.
                              Pada  tahun  1929,  Hindia  Belanda  diterpa  adanya  krisis  ekonomi  yang  disebut
                       Krisis  Malaise atau Depresi Besar yang  berdampak pada tergerogotinya kesejahteraan
                       rakyat terutama pribumi. Krisis ini kemudian diperparah dengan meletusnya aksi-aksi
                       protes dari golongan nasionalis bahkan berujung pada pemberontakan oleh tokoh-tokoh
                       kiri.  Adanya  aksi  protes  dan  pemberontakan  tersebut  kemudian  menimbulkan  krisis
                       politik  di  Hindia  Belanda.  Tahun  1926  misalnya  pecah  pemberontakan  komunis  yang
                       dilakukan oleh PKI di Banten dan di Sumatra yang menyebabkan pemerintah kolonial
                       mengambil tindakan tegas dengan membuang para tokoh-tokoh pergerakan Indonesia ke
                       Digul. Adanya pemberontakan ini memicu partai-partai konservatif reaksioner di Belanda
                       mengajukan model pemerintahan lain di Parlemen. Model pemerintahan yang diajukan
                       merupakan model yang lebih tegas dan represif. Fraksi politik konservatif yang terdiri dari
                       RKSP (Roman-Katholieke Staats-Partij), SDA (Sociaal-Democratische Arbeiders Partij)
                       dan  ARP (Anti-Revolutionaire Partij) mendorong menteri kolonial pada waktu itu Simon
                       de  Graaff  untuk  mengangkat  gubernur  jenderal  yang  baru  sesuai  dengan  ide-ide
                       konservatif  mereka.  Pemerintah  Belanda  kemudian  menunjuk  Bonifacius  Cornelis  de
                       Jonge sebagai gubernur jenderal yang baru yang sesuai dengan kepentingan fraksi politik
                       konservatif yang berkuasa di Parlemen Belanda.
                              Dipilihnya  de  Jonge  tak  lain  dan  tak  bukan  karena  menyangkut  kepentingan
                       pemerintah  Belanda  di  koloninya  yaitu  menegakkan  ketertiban  dan  keamanan  yang
                       sebelumnya  sempat  terganggu  dengan  adanya  beberapa  aksi  pemberontakan  dan
                       berbagai protes. De Jonge juga dinilai cocok dalam mengatasi krisis di Hindia Belanda
                       baik krisis politik dan ekonomi.
   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13