Page 104 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 104

Tapi, yang paling horor dalam pengalamanku adalah me­
               nyadari betapa kepalaku sendiri berubah menjadi kamera sata­
               niah itu. Kepalaku menyorot, membidik, merekam gambar yang
               sampai sekarang tak bisa kuhapuskan. Kesadaran ini membuat
               rasa ingin muntah. Kesadaran bahwa aku tak beda dari televisi.
               Pada  sebuah  detik  yang  lalai  aku  mencoba  menghentikan
               perekam otomatis itu dengan menoleh ke Parang Jati. Kulihat
               wajahnya  dingin.  Tapi  dari  matanya  yang  kehilangan  sirat
               bidadari kukira ia menyembunyikan rasa terkejut. Ia menoleh
               sekilas kepadaku dan berbisik menang, “Sudah saya bilang tadi.
               Berbahagialah orang yang tak perlu melihat tapi percaya saja.”
                   Humor tipisnya membebaskan aku dari kamera kuntilanak
               yang barusan mencekat kepalaku. Aku merasa lega karena bisa
               menatap ke arah lain. Kulihat seorang penghulu membacakan
               doa  agak  jauh  dari  keranda.  Dalam  ingatanku  sekarang,  ia
               satu­satunya orang dalam ruangan yang bisa mengembalikan
               aku  pada  ikonografi  pewayangan,  membebaskan  aku  sejenak
               dari kenyataan reality show. Manusia­manusia lain di tempat
               itu sungguh hiperrealis seperti tayangan televisi. Mentah da­
               lam  kaca  pembesar.  Inilah  definisi  hiperrealita:  realita  yang
               disampaikan  dalam  cahaya  yang  berlebihan  dan  skala  diper­
               besar berlipat­lipat. Kenyataan yang dilihat dalam sedikitnya
               seribu  wat  dan  zum  sepuluh  kali.  Si  penghulu  adalah  yang
               berada dalam cahaya dan ukuran wajar, dan merupakan satu­
               satunya sosok yang memiliki stilisasi.
                   Ia mengingatkan aku pada Semar. Sebagai badut, rakyat,
               dan  abdi,  ia  bertubuh  bulat  pendek.  Tapi  ia  juga  penasihat
               nan hikmat. Bahkan wakil hati nurani. Semar memiliki mata
               bijak orang tua, dengan kelopak yang layu, yang membuatnya
               sendu dan bukan jelalat. Sang penghulu tampak bersahaja. Ia
               mengenakan sarung, kemeja batik, dan peci yang telah lusuh.
   99   100   101   102   103   104   105   106   107   108   109