Page 106 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 106
lelaki yang mati itu, tidak pantas disembahyangkan dan tak
boleh dimakamkan dengan cara Islam. Sebab, lelaki itu telah
musyrik. Ia telah mempersekutukan Allah selama hidupnya.
Ia bahkan telah membikin perjanjian dengan setan. Kupukupu
membeberkan bahwa pamannya telah menjalankan laku sesat
ini bertahuntahun padahal ia telah memperingatkan lela
ki itu berkalikali. Pamannya melakukan tapa dan memper
sembahkan sesajen di Watugunung. Ia memiliki ilmu hitam
dan bisa berubah menjadi hewan jejadian. Harimau jadian.
Babi ngepet. Ayam pelung yang berkokok malam hari. Tapi,
Tuhan menunjukkan kebesaranNya dan menghukum dia mela
lui binatang hina dina.
“Seekor anjing buduk menggigitnya dan ia mati karena
itu!” katanya dengan nyaring.
Aku tak bisa melupakan cara bicaranya. Sungguh gaya
aktor sinetron hidayah yang begitu yakin bahwa ia membawa
kan kebenaran bahkan ketika berada di luar adegan.
Sang penghulu yang telah lepas dari rasa terkejut kini
mendekati dia. Aku menamainya Penghulu Semar. Lelaki yang
jauh lebih tua itu berbicara dengan bahasa Jawa halus, lalu
mereka bercakapcakap dengan krama. Samarsamar aku me
nangkap usaha pria itu untuk mengingatkan si anak muda agar
menghargai suasana duka dengan bersikap santun. Kirakira
ia berkata, siapakah kita ini sehingga berhak menghakimi yang
menjadi hak Allah?
Tapi Kupukupu mengutip, “Janganlah kamu sekalisekali
menyembahyangkan jenazah orang musryik…”
“Ya, ya. Bapak ini juga tahu ayat itu,” kata penghulu
Semar. “Tapi hal demikian itu menjadi pengetahuan Gusti
Allah semata. Lagi pula, kita ini warga desa. Seluruh warga desa
ikhlas untuk menyembahyangkan almarhum, Nak.”
“Ustadz jangan menyebut dia almarhum. Almarhum hanya
untuk orang muslim. Dia telah musyrik.”