Page 110 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 110
teringat bahwa aku baru saja menanggung kekalahan gawat
untuk taruhan yang sepele. Rasanya seperti hompimpa dengan
taruhan pindah agama. Bayangkan, jika aku memang tidak mau
menjilat ludah, aku harus menjadi pemanjat bersih selama sisa
hidupku. Itu perubahan drastis pada garis tangan seseorang.
Di kegelapan angin bertiup hingga merundukkan rumpun
bambu raksasa. Sepeda kami sedikit oleng. Setiap kali dorong
an bertaruh itu terbit, aku merasa leherku kering. Di mulutku
katakata menggumpal minta keluar. Aku tak tahan menyim
pan dorongan ternyata. Paling tidak, akhirnya aku menyatakan
taruhan itu sebagai lelucon. Parang Jati menyeringai tapi tidak
menoleh padaku. Aku senang humor dinginnya. “Hmm, ya
ya. Kalau nanti orang itu bangkit dari kubur, berarti sajennya
diterima,” katanya tanpa tawa, seperti telah bosan dengan
taruhanku yang semakin tak masuk akal.
“Kalau sajennya diterima, baru kau sah menang,” kataku,
yang lebih menunjukkan bahwa aku putus asa kalah taruhan.
“Dan kita tahu bahwa sajennya diterima jika ia bangkit dari
kubur. Jadi, kalau dia bangkit berarti sajen diterima. Kalau
sajen diterima berarti kamu menang. Begitu, ya?”
Ia menoleh sekilas sambil tertawa dan mengatai aku
curang. Aku sadar aku sudah sangat menyukai kawan baruku
itu sekarang.
Suasana malam yang dramatis menyebabkan terkilat di
kepalaku gambaran jika lelaki yang mati itu sungguh bangkit
dari kubur. Bagaimana jika tanah ini mengandung terlalu
banyak tuah sehingga mayat bisa hidup lagi?
Hujan mulai turun dan kami tidak membawa ponco.
Seharusnya kami tahu bahwa badai bisa datang sewaktuwaktu
malam ini. Kami telah mendengar ramalan cuaca di radio,
bahwa badai akan menerjang akibat terjadinya siklon tropis di
barat laut Australia. Puncak badai itu mungkin akan menerpa
selama satu atau dua hari, sebelum cuaca menjadi wajar
100