Page 107 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 107
Suasana menjadi tegang karena Kupukupu tidak mau
membiarkan orangorang bersembahyang. Di antara pelayat,
aku melihat dua tiga orang yang mulai setuju pada perkataan
Kupukupu, meskipun mereka tak mau berbicara dengan ke
ras. Tanpa pendukung pun, kekerasan hati Kupukupu untuk
menghalangi pemakaman cukup membuat keadaan semakin
genting.
Puncak ketegangan malam itu mulai berakhir ketika ke
pala desa datang dengan beberapa orang hansip. Ia mengena
kan batik dan para hansip berseragam hijau muda. Si kepala
desa itu bertubuh bulat dan bermuka bundar, sedikit lebih
tinggi dari Penghulu Semar. Tapi matanya bulat melotot dan
moncongnya sedikit lebih maju ketimbang hidungnya. Ia
mengingatkan aku pada Bilung, yaitu punakawan yang ber
ada di pihak raksasa. Jika Semar mewakili ketulusan nurani,
Bilung mewakili pertimbangan pragmatis. Ia menghindari ben
turan dan memilih melakukan tawarmenawar dengan pemuda
Kupukupu. Keputusan yang menurutku tak seharusnya.
Karena hati batu si anak muda seorang diri, keluarga
dan kepala desa sepakat untuk tidak memakamkan jenazah
malang itu di pemakaman umum desa. Pemuda K berhasil
memaksakan kehendaknya, meski tidak seluruh tuntutannya.
Sebagai penonton, sungguh aku tak mengerti mengapa istri
mendiang dan para petinggi desa mengalah pada satu pemuda
eksentrik yang hanya bisa diterangkan dalam ikonografi komik
hibrida.
Kulihat arakarakan keranda pergi dengan oborobor me
nuju sebuah hutan di kaki Watugunung. Setetes air jatuh di
alisku.