Page 102 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 102

dalam  rumah  layat  itu,  aku  seperti  masuk  ke  alam  televisi.
               Segalanya sungguh banal. Mentah. Tanpa pengolahan. Tanpa
               penghalusan.  Bahkan  dengan  penggandaan  kementahan  itu.
               Sebuah… reality show. Sekali lagi, aku tak sedang bicara soal
               substansi atau moral, melainkan bentuk.
                   Aneh sekali rasanya, aku memasuki sebuah tayangan yang
               merupakan persilangan sinetron hidayah dan reality show.

                   Sampai sekarang aku mengingatnya dalam cahaya reality
               show. Yaitu, cahaya dari lampu sorot kamera digital yang keras
               dan tak berbelas kasih. Cahaya yang membuat manusia tampak
               buruk—kantung  mata  menjadi  tebal,  pori­pori  dan  segala
               bopeng terlihat lebar, dan sela­sela gigi menjadi hitam—kecuali
               jika orang menutup mulut dan mengenakan riasan panggung.
               Dan, sekalipun orang telah mengunci mulut dan mengenakan
               pulasan pentas, sinar lampu bidik itu tetap membuat manusia
               tampak datar, kehilangan kedalaman, dengan demikian kehi­
               langan jiwa. Manusia menjadi seperti gambar bergerak tanpa
               ruh.  Lampu  kamera  bertolak  belakang  dengan  cahaya  sentir
               pertunjukan wayang, yang bersahaja dan berayun­ayun, yang
               memaksa kita mencari kedalaman dalam bayang­bayang. Tapi
               desa  ini  telah  kehilangan  kebersahajaan.  Sejak  listrik  ma­
               suk.  Kau  tahu  aku  benci  listrik.  Makhluk  ini  mengacaukan
               keheningan alam.

                   Seseorang telah memasang pengeras suara. Ayat­ayat me­
               rayap  ke  jalan­jalan  yang  masih  gelap,  menyelinap  di  antara
               rumpun­rumpun  bambu.  Parang  Jati  memarkir  sepeda  di
               depan  rumah  yang  tak  buruk  untuk  ukuran  desa.  Rumah
               dengan  dua  kamar  tidur,  sebuah  ruang  tamu  yang  berfungsi
               untuk  menerima  tamu  sekaligus  makan  di  atas  tikar,  serta
               dapur kecil di belakang. Sumur dan peturasan pastilah masih
               terpisah dari bangunan.


              2
   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106   107