Page 103 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 103
Kami melepas alas kaki di depan teras, dan dunia menjadi
garib begitu kami melangkah ke dalam rumah. Di ruang utama
terbujur sosok itu. Seseorang membuka kembali kain batik
penutup wajah si jenazah, entah bagi kami atau bagi orang lain.
Seketika terdengar perempuan menjerit. Orangorang nyebut.
Suara mereka bergairah sekaligus tercekik, menimbulkan per
paduan ganjil antara kepuasan dan kengerian. Perpaduan
rasa seram dan puas itu menghirup bulu kudukku. Wajah si
jenazah terdadah di hadapanku sekarang. Aku bergidik, ngeri
lebih kepada diriku sendiri daripada kepada apa yang tampak.
Tengkukku meremang menyadari bahwa seluruh kepalaku
tibatiba menjelma kamera tayangan realita, yang keras dan
tak berbelas kasih. Lensa mataku memfokus dan diafragmanya
menyesuaikan cahaya. Dan ketika obyek telah dibidik, perekam
berputar seolah tak mau berhenti mencari ketajaman. Proses
mekanis ini lebih menakutkan daripada apa yang sesungguh
nya kulihat atau kudengar.
Bau kapur barus, pengusir lalat dan ngengat dari jenazah.
Sejumput bubuk kopi taburan. Setelah sejenak buram ketika
fokus belum ditemukan, pelanpelan tampaklah wajah itu, yang
tersisa dari tubuh yang terbungkus kafan. Sinar yang keras
membuat segala yang buruk terungkap. Lelaki itu mestilah ma
ti dengan menitmenit menyakitkan. Matanya masih separuh
mendelik dan mulutnya berjejak seringai. Kulitnya keunguan,
bercarutan bopeng dan bintilbintil. Barangkali sejak hidupnya
ia berjerawat atau bertahilalat, atau pernah terkena cacar (yang
anehnya tak sempat kuperhatikan saat berpapasan dulu). Tapi
kudengar orangorang berbisik bahwa semua itu baru tumbuh
semenjak ia sekarat. Ada yang berkata bahwa, lihatlah, bintil
dan keropeng itu masih terus berbiak sekarang. Dan jika ia tak
segera dimakamkan, kita akan melihat bahwa tubuhnya terus
berproses. Dari bintilbintil itu akan keluar ularular sebesar
telunjuk. Lekas, lekas kuburkan dia.
3