Page 111 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 111
kembali. Parang Jati mengayuh kuatkuat. Tapi kami tetap
harus turun dan menuntun sepeda ketika melalui pematang.
Sesaat kemudian, hujan tercurah. Angin kencang membuat air
berhamburhambur miring.
Pantulan basah yang tampak sesekali, saat petir mencer
cah, membuat simpatiku terbangun bagi lelaki yang mati.
Tubuhnya kini terbenam sendirian, pelanpelan tergenang
oleh curah hujan, yang tak hanya akan menyerapi tanah, tapi
menyerapi poriporinya, mengisi bintilbintil kulitnya dengan
cairan. Aku tahu dia sedang membusuk dan tak akan hidup
lagi. Betapa menyedihkan nasib manusia. Betapapun tipis,
hidup kami pernah bersinggungan. Aku pernah bersapaan
dengannya, meski sekilas. Aku pernah mencuri sesajennya. Ia
digigit oleh anjing yang sama dengan yang menggigit temanku.
Pete selamat. Tapi lelaki ini, entah oleh apa, menolak dirawat
dokter, dan ia mati. Aku menghargai keputusannya. Tapi
apa salah dia sehingga makhluk silangan Diponegoro dengan
Samurai X itu memaksa orang desa untuk memakamkan
jenazahnya di tempat terkucil tanpa didoakan bagai sebuah
najis besar?
Hujan turun sepanjang malam. Beberapa tenda yang letak
nya rendah tergenang sehingga kami tidur bertumpuktumpuk
di kemah induk. Hujan belum usai juga esok harinya. Gerom
bolan memutuskan untuk menghentikan pemanjatan sampai
cuaca membaik, barangkali di hari berikut. Aku memutuskan
untuk berjalanjalan sendiri menengok makam lelaki malang
itu. Aku percaya ada hidup setelah mati. Aku percaya arwah
orang yang baru meninggal masih berkitarkitar di bumi sam
pai 40 hari. Aku ingin mengucapkan salam kepadanya, ingin
sekadar meminta maaf bahwa kami pernah nakal mencuri
jeruk dan pisangnya. Ingin kukatakan pada makamnya bahwa
101