Page 113 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 113
sekarang, mengangkat orok yang menangis ketakutan itu ke
dekat mulutnya sambil tertawa dengan suara panjang tinggi.
Hihihihihi…. Mengerikan maksudnya.
“Bagaimanapun, tampaknya di dunia hantuhantu, Sundel
Bolong ini lumayan juga,” kataku kepada kuburan itu dengan
nada menghibur. “Memang sudah dapat umur, sih. Tapi kan
justru banyak pengalaman.”
Kini aku percaya bahwa Kabur bin Sasus si lelaki malang
itu tidak kesepian. Tante Sundel Bolong akan menjadi teman
tidurnya. Tubuh perempuan itu barangkali dingin, tapi ge
sekannya panas dan berpengalaman. Lagi pula, setelah hujan
semalaman menenggelamkan dia, lelaki itu tak kan lebih
hangat daripada sang sundal. Apalagi ia baru datang ke alam
itu sedangkan si sundal sudah lama ada di sana. Kulemparkan
sebuah apel dan sebilah pisang terbaik ke atas makamnya—
kuambil dari jatah ransumku—sambil meminta maaf atas
kelakuan kami waktu lalu. Buahbuahan itu memberi warna
kuning dan merah menyala bagi makam yang tak bertabur
bunga.
Tapi ada yang meruap perlahan. Sayupsayup aku mulai
merasakan sesuatu yang lain. Lamatlamat aku merasakan sua
tu kehadiran. Aku seperti mendengar suara aneh. Seseorang,
atau sesuatu, mendesis pendek. Dari arah pepohonan. Aku
lebih takut pada ular ketimbang pada hantu. Namun suara itu
tidak seperti datang dari ketinggian seekor ular.
Seperti ada kehadiran yang mengintai.
Aku diam sejenak sambil berjagajaga. Sejak semula aku
berada di posisi aman, yakni menghadap hutan dan membela
kangi lahan terbuka. Tak mungkin ada sesuatu menerkamku
dari punggung tanpa kuketahui. Makhluk itu hanya mungkin
berada di depanku. Atau di semaksemak di tepitepi radius
pandangku. Aku menyapukan sorot mata ke kanan dan ke kiri,
memperluas jelajah radarku.
103