Page 117 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 117
Aku dan Parang Jati menemukan bangkai anjing itu.
Warna bulunya coklat beraduk hitam. Ia telah membusuk tiga
hari. Kami tidak mendekati dia. Bau dan dengung lalatlalat
cukup memberi tahu bahwa tak ada yang bisa kami lakukan
lagi bagi dia. Barangkali kini ia telah bertemu kawannya, lelaki
yang ia berhasil ajak mati. Kabur bin Sasus. Jasad anjing itu
kami dapati ketika menuju tepian batok Watugunung melalui
punggung bukit. Kami menyusuri rute yang dilewati lelaki yang
mati atau siapapun yang hendak memasang sesajen di pundak
gunung yang dianggap keramat oleh penduduk desa.
Di batu mezbah kini tak ada sisa sajian. Pada bongkah batu
tempat lelaki itu menaruh persembahannya aku mengenali
sebuah sodetan baru, seolah sebilah parang maha kuasa men
cabiknya semalam. Kami yakin itu jejak petir semalam. Adakah
petir itu menyambar sesajen hingga hilang tak berbekas. Aku
teringat taruhan leluconku lagi. Artinya, sesajen itu diterima,
atau tidak diterima. Jika mayat itu bangkit dari kubur barulah
kami bisa betulbetul yakin bahwa sesajen itu diterima. Jika
mayat itu bangkit dari kubur, maka Parang Jati akan tertawa
sekeraskerasnya atas kekalahanku. Dan itu tak akan terjadi.
“Ini memang wilayah petir menyambar,” ujar Parang Jati.
“Memang sebaiknya tidak berada di sini pada musim kilat.”
Hujan telah berhenti. Mendung masih tersisa. Tapi tak
ada lagi tandatanda akan pertukaran listrik di alam raya.
Perjalanan lewat punggung bukit memakan kirakira tiga jam.
Untuk ke menaranya yang paling tinggi perlu satu jam lagi.
Kami hendak mempelajari bentuk tebing itu dari sudut pan
dang sarang elang, demi menaksir jalurjalur yang mungkin
untuk pemanjatan bersih. Sesungguhnya aku masih tak rela
mengubah jalan hidupku. Tapi lebih baik berganti agama
daripada turun kasta. Aku memuja kesatriaan. Sikap satria tak
menjilat ludah sendiri. Katakata satria selalu bisa dipegang.
Betapapun katakata itu mengandung kegilaan.
10