Page 122 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 122

Aku bergidik. Bukan karena jijik melainkan karena rasa ganjil
               yang gawat akibat kehilangan dimensi. Makhluk itu demikian
               kecil.  Ukurannya  tak  masuk  akal.  Sedikit  saja  lebih  tinggi
               dari  lututku.  Seperti  dari  alam  lain.  Ia  menyerupai  manusia,
               tapi  proporsinya  menyerupai  tubuh  anak  kecil,  meski  tidak
               persis betul. Tangannya bengkok. Kakinya pendek, mendekati
               proporsi bebek. Kini ia tampak, bukan dalam sedetik melain­
               kan dalam menit­menit yang mendirikan bulu kuduk. Kulitnya
               coklat gelap dengan warna yang tak merata, sehingga ia tampak
               berpolengan mirip anjing dalam keadaan tak berbulu. Perutnya
               agak  buncit,  tersangga  sejenis  cawat  yang  bagai  terbuat  dari
               selembar selendang serat kasar yang dililitkan menutupi ping­
               gang  dan  selangkangan.  Dahinya  bertaruk.  Matanya  bulat,
               mata mambang. Hidungnya pesek, dan gigi depannya muncul
               dari  balik  bibir.  Ia  terlampau  jelas.  Tak  mungkin  aku  tidak
               bisa  memegangnya.  Ia  pasti  bisa  disentuh.  Aku  nyaris  tak
               mempercayai mataku. Makhluk mini itu berjalan jinjit, sedikit
               melambung­lambung,  melintasi  lahan  terbuka  ke  arah  jalur
               setapak  turun.  Ia  melangkah  seolah  tidak  melihat  kehadiran
               kami. Ia bagaikan bangsa halus yang tak peduli manusia karena
               perbedaan matra, sementara sesuatu telah membukakan mata
               kami untuk melihat dia.
                   Tapi tidak. Tiba­tiba ia menoleh ke arah kami dan melam­
               baikan  satu  tangannya  yang  pekuk  sambil  wajah  buruknya
               acuh  tak  acuh.  Dahinya  sungguh  menonjol  menyerupai  zi­
               rah  aneh.  Dengan  takjub  kulihat  Parang  Jati  mengangkat
               sedikit  tangannya,  membalas  salam  si  mahkluk  kecil  seolah
               mereka  telah  mengenal  satu  sama  lain.  Wahai,  mereka  bisa
               berkomunikasi.  Sosok  setinggi  paha  itu  melenggang  lagi  dan
               menghilang di jalan setapak ke arah bawah, meninggalkan aku
               dengan mulutku ternganga.
                   Angin masih mati. Aku mendekati Parang Jati. Ada sedikit
               rasa mual di perutku.


             112
   117   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127