Page 123 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 123
“Jat, yang barusan lewat itu apa?” tanyaku perlahan.
“Oh, dia… Tuyul.”
“Maksudmu, barusan kita ketemu tuyul?”
Ia menggeleng. “Namanya Tuyul. Seperti nama saya Parang
Jati.”
Aku tak mengerti.
“Di sini memang ada beberapa yang seperti dia.”
“Tapi apa sesungguhnya itu? Setan atau apa?”
“Kapankapanlah kuceritakan,” sahutnya enteng. “Di sini
ada banyak makhlukmakhluk begitu...”
Ia mengajakku turun dan membicarakan hal lain sepan
jang perjalanan. Rasa penasaran membuat aku melanggar
anjuran Sebulku untuk menutup mulut. Akhirnya kukatakan
juga padanya bahwa tuyul itu telah kupergoki mengintaiku tadi
pagi, di semaksemak dekat makam si lelaki malang. Akhirnya
Parang Jati menggeleng. “Dia bukan setan,” katanya. “Dia
makhluk mini. Ada dua tiga di sini yang seperti dia.”
Seharusnya saat itu aku telah tahu, betapa gerombolan
pemanjat kami sangat berkacamata kuda. Kami hanya melihat
Watugunung. Itupun kami sebut sebagai Batu Bernyanyi,
nama buatan gerombolan kami yang tak peduli pada orang
setempat. Tahu apa kami mengenai makhluk dan bangsa
bangsa di sekitarnya. Sama seperti sampai bertahun kemudian
aku tak pernah mendengar kisah vampir menghisap darah
ternak. Dedusunan ini mengandung tuah. Semalam aku meli
hat pemuda oplosan Samurai X dan Diponegoro. Pagi ini aku
bertemu Tuyul. Dan kawan baruku Parang Jati, yang mengenal
mereka semua dan tidak bersikap seolah mereka makhluk dari
alam lain, dia sendiri adalah pemuda berjari enam pada setiap
telapaknya.
113