Page 127 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 127
terjadi padaku. Kukatupkan kembali cangkangcangkang ke
rasku demi menyimpan rapat impian akan Sebul.
Tapi Sebul yang selama ini hanya ada di duniaku kini
memiliki pantulan di dunia luar. Bunyi fu yang selama ini
hanya ada dalam pengalamanku kini memiliki kembaran di
pengalaman Parang Jati. Bunyi hu. Siapa yang menghembus
kan bunyi itu ke dalam dirinya? Sesosok makhluk manusia
serigalajantanbetina? Yang mengisikan rahasia ke dalam
telinganya, ataukah menularkan pengetahuan itu melalui gigit
an bengis mesra di lehernya? Melalui titik luka di ujung
jari? Kepada asamasam purba? Gnosis sanguinis. Rasa ingin
tahu menyiksaku sebab ia melekat pada perisai pelindung
mimpimimpi paling intim. Jika aku mengorak rasa ingin
tahuku, dengan demikian melepaskan perisaiperisaiku, maka
kusodorkan pula bagian rentan diriku. Kemaluanku. Yaitu
ketakmasukakalan pada diriku.
Parang Jati telah menyiapkan jatah ransumku. Ia memba
gi, bagianku dalam mangkuk utama tupperware, bagiannya
pada tutup ceper. Kami sedang beristirahat makan sesung
guhnya. Aku mengucapkan terima kasih dan mulai menyuap.
Segumpal nasi dengan dendeng manis dan telur dadar. Tapi
di kepalaku masih bergaung bunyi fu yang sahut menyahut
dengan hu. Dari mana ia mendapatkan nama yang begitu mirip
dengan nama bilanganku. Bilangan rahasiaku.
Aku tak menatap kepadanya, melainkan memandang lurus
ke depan. Sambil purapura acuh tak acuh aku berkata:
“Kami menamai tebing ini Batu Bernyanyi. Tahu kan
kenapa?”
“Ya.” Ia sedikit menerangkan proses geologi yang me
nyebabkan lubanglubang tembus pada tebing batu. Lubang
lubang tembus yang kini menyayat dan melolong.
“Kamu tahu satu liang tembus yang agak besar di, hmm,
11