Page 129 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 129

bulu  halus  yang  berbaris  menipis  ke  arah  sigar  otot­otot
                 punggungnya yang liat. Bau tak pernah hadir dalam mimpiku.
                 Tapi  kelak,  begitu  terjaga,  begitu  gambaran  bawah  sadar  itu
                 hilang dari mataku, aku segera bisa merasakan bau tengkuk­
                 nya.  Sesaat,  sebelum  pudar.  Bau  lemak  badan  yang  kukenali
                 manakala aku berada di bonceng sepeda atau motornya. Sebe­
                 lum  bau  itu  hadir,  aku  melihat  tengkuknya.  Kulitnya  yang
                 gelap  terbakar  siang.  Lalu,  sebuah  bayangan  mengendap­
                 endap menghampirinya dari belakang, mengendusi untai nadi
                 yang melintang di bawah kulit lehernya. Kulihat pembuluh itu
                 berdenyut halus. Terimalah ini: gnosis sanguinis.
                     Aku  menepuk  seekor  nyamuk  yang  hinggap  di  lekuk
                 bahunya.  Darah  serangga  itu  meleler  kecil  di  telapakku.  Ku­
                 hirup  amisnya.  Di  leher  Parang  Jati  kulihat  dua  titik  luka.
                 Sedikit  bengkak.  Bekas  gigitan  nyamuk,  ia  menduga.  Kita
                 tunggu  saja. Nyamuk  belang  di  siang  hari membawa  demam
                 berdarah, kataku sambil tanganku memlintir bangkai nyamuk
                 sebutir upil.
                     “Mau taruhan lagi, apakah saya akan kena demam berda­
                 rah atau tidak?” katanya sambil membereskan ompreng yang
                 isinya telah tandas.
                     “Aku  tidak  lagi  mood  untuk  bertaruh,”  sahutku  sambil
                 menuang air pada gelas termos. Sebuah rasa melankoli telah
                 menghilangkan nafsuku untuk bertaruh. Lalu sambungku asal­
                 asalan,  “Hmh.  Lagi  pula,  kita  masih  punya  taruhan.  Apakah
                 sesajen  lelaki  malang  itu  diterima  atau  tidak.  Apakah  dia
                 bangkit dari kubur atau tidak.”
                     “Kalau dia bangkit?”
                     Aku nyengir. “Tentu saja kau sah menang.”
                     Ia meminum air dari cangkir yang kusodorkan, lalu meng­
                 gunakan beberapa tetes yang tersisa untuk mencuci jemarinya.
                 “Kalau dia tidak bangkit?”


                                                                        11
   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134