Page 132 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 132
“Gundul pecingis!”
Tibatiba Parang Jati berteriak sambil merenggutku di
tangan. Angin meraung agak kencang. Pemimpinnya adalah
suara Sebul. Dan gundul pecingis adalah hantu pedesaan yang
menampakkan diri sebagai kelapa jatuh dari pucuk pohon, dan
menyeringaikan sebaris gigi begitu kau menyadari bahwa ia
sesungguhnya berupa kepala manusia menggelinding sebelum
menghilang.
Bulatan itu nyaris menimpa tempurungku. Ia tidak me
nyeringai ataupun menghilang. Ia berdentum dan menggelin
ding bimbang, sebelum aku sadar bahwa itu adalah sebutir
kelapa. Bulatan itu terkulai tak jauh dari kami. Sedetik kemu
dian aku tahu bahwa aku sedang sekarat gegar otak sekarang
jika saja Parang Jati tidak merenggut aku tadi. Kami telah
terjerembab di tanah. Aku menimpa tubuhnya. Tangannya
memeluk dan melindungi kepalaku.
Aku mengucapkan terima kasih dan menegakkan diri.
Tapi ada rasa tak nyaman yang menyerang dengan mendadak,
karena tahu bahwa nasib sial telah mengarahkan buluhnya
ke kepalaku. Mati tertimpa batuan rumpal ketika memanjat,
atau mati karena jatuh dalam pemanjatan, itu adalah kematian
yang terhormat. Tapi mati tertimpa kelapa adalah kekonyolan.
Betapa nasib siasia telah begitu nyaris dengan aku. Betapa aku
sesungguhnya tak berdaya berkelit darinya.
Tapi serangan yang akut datang beberapa saat setelahnya.
Tidakkah telah dia peringatkan kepadaku, bahwa seorang sa
tria tak sepantasnya membuka kunci mulutnya dan menjadi
keledai desa yang mengipas hantu menjadi lebih cerita?
Rasa cemasku datang dari asamasam purba dalam sel
tubuhku. Asam yang memberi peringatan bahwa roh pun
memiliki rasa cemburu.
Tenggelam aku dalam sebuah massa cair abad kegelapan.
Aku harus mengayuh diriku ke atas permukaan, di mana
122