Page 135 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 135

sekeliling liang. Di dalamnya terdapat tapak tubuh yang kini
                 telah  kosong.  Tak  pun  tersisa  kainnya.  Ada  rasa  ngeri  meli­
                 hat  lubang  yang  menganga  seperti  luka.  Namun  aku  pandai
                 mengambil jarak dari perasaan dengan lelucon. Memang boleh
                 saja orang berkhayal bahwa mayat itu menjebol dari dalam de­
                 ngan tenaga ledakan. Kubur berdentum dan melompatlah dia
                 dari liang makam, bersama semburan tanah dan kerikil. Lelaki
                 berwajah berintil dalam bungkusan kain kafan.
                     “Suami saya telah berpesan, Pak Polisi. Katanya, dia telah
                 menuntut ilmu. Ilmu itu akan membuat dia hidup seribu tahun
                 lagi.”
                     Aku tak mengerti apa sesungguhnya sikap wanita itu ten­
                 tang semua yang ia katakan secara histeris. Adakah ia gembira,
                 bangga,  atau  justru  takut  dan  kecewa.  Apakah  ia  bermaksud
                 meminta tolong pada polisi untuk melindungi dia dari suami­
                 nya yang menjelma zombi, atau justru meneriakkan kemenang­
                 an bahwa suaminya akan membalaskan penghinaan penduduk
                 desa yang menyingkirkan dia dari kuburan masyarakat. Yaitu
                 para pengikut diam­diam pemuda Kupukupu. Wanita itu tam­
                 pak  seperti  luapan  seluruh  perasaan  itu.  Aku  tak  berharap
                 banyak. Terlalu banyak orang desa yang bodoh belakangan ini.
                 Mereka tidak jelas dan tidak padu dalam diri mereka sendiri.
                 Bukan  aku  mengatakan  bahwa  orang  desa  pada  dasarnya
                 bodoh.  Tapi,  televisi  sekarang  telah  membikin  kebanyakan
                 mereka bodoh. Nenekku pun orang desa, tapi ia tidak bodoh. Ia
                 barangkali tidak mengerti dunia di luar kampung halamannya,
                 tapi ia selalu bisa mengatakan pendapatnya dengan jelas. Lebih
                 baik  menjadi  sederhana  daripada  skizofrenia.  Sebab  pada
                 masa  itu  belum  ada  televisi.  Televisi  membuat  kepala  orang
                 desa tercekat di tabung kaca sementara kaki mereka berumbi
                 di  tanah.  Mereka  hidup  dengan  harga  ketela  seratus  perak
                 sekilo di desa, tapi di kotak kaca mereka melihat orang disuruh
                 menghabiskan  sepuluh  juta  rupiah  dalam  satu  jam  belanja


                                                                        12
   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140