Page 137 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 137

mengharapkan kunjungan lelaki yang mati digigit anjing gila
                 yang kini tubuhnya keluyuran entah ke mana.
                     Polisi yang kedua menemukan apel merah dan pisang yang
                 kemarin kulempar ke atas makam. Buah­buahan itu tertumpuk
                 oleh papan nama. Kabur bin Sasus. Nama yang bagaikan tanda
                 bagi keberadaannya kini.
                     “Ada yang meletakkan apel impor dan pisang cavendish,”
                 katanya. “Masih ada stiker mereknya.”
                     Harus kuakui, sersan itu tidak bodoh. Ia langsung menoleh
                 kepada aku dan Parang Jati, dua pemuda yang tampak tidak
                 seperti penduduk desa.
                     Aku merasa terkutuk. Tapi, daripada polisi memaksa un­
                 tuk memeriksa perkemahan kami, lebih baik aku mengaku saja.
                 Sebagaimana  harapanku  yang  paling  buruk,  mereka  segera
                 meminta  aku  ikut  ke  pos  polisi  untuk  dimintai  keterangan.
                 Ia meminta aku membonceng di motor mereka, di tengah di
                 antara mereka berdua seperti sandwich. Aku kurang rela untuk
                 dihimpit dua polisi.
                     “Bagaimana kalau saya naik sepeda saja ke kantor polisi
                 membuntuti Bapak­bapak?” tawarku.
                     Parang Jati menjamin bahwa kami tidak akan melarikan
                 diri. Ia menyebut nama pamannya. Tahulah aku bahwa sang
                 paman  adalah  tokoh  yang  namanya  cukup  ampuh  untuk  di­
                 tebarkan  di  daerah  ini.  Tapi,  kedua  polisi  itu  masih  seusia
                 kami  dan  agaknya  belum  lama  bertugas  di  sini  sehingga
                 kurang mengenal peta kekuasaan lokal. Mereka tampak ragu.
                 Kami pun terlibat dalam tawar­menawar yang ganjil mengenai
                 transportasi.
                     “Mas  ikut  saya  dengan  motor.  Teman  saya  ikut  dengan
                 sepeda. Bagaimana?” kata salah satunya.
                     Tapi Parang Jati merasa kurang rela memboncengi polisi.
                 Dan polisi yang satu pun merasa kurang punya harga diri jika
                 membonceng pada Parang Jati di kursi belakang sepeda. “Polisi


                                                                        12
   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142