Page 138 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 138
kok digonceng sepeda,” keluhnya. Persoalan harga diri yang
agak rumit itu diputuskan juga setelah beberapa menit tawar
menawar. Akhirnya kami berangkat: tetap dengan satu motor
dan satu sepeda. Hanya saja kedua polisi memegang kemudi.
Kedua tersangka di boncengan. Demikian, agar para polisi
tetap gagah. Di perjalanan, kedua pasangan baru nan sebaya
ini saling bercakapcakap, sehingga terjalinlah dialog yang
akrab. Ketika tiba di pos polisi, aku telah menjadi yakin bahwa
aku tak akan menjadi tersangka kasus pencurian jenazah.
Rasa waswasku selesai. Pertama, kasus ini terlalu kecil dan
tampaknya tak memiliki nilai finansial. Semakin tinggi nilai
perkara, semakin mudah orang tak bersalah menjadi korban.
Semakin rendah nilai perkara, semakin sibuk polisi untuk
urusan lain. Kedua, nama paman Parang Jati cukup manjur
untuk membuat kami tak dikenai tuduhan tak berdasar. Ketiga,
ada saling hormat yang terjalin antara polisi muda yang baru
datang itu dengan kami—aku yang juga pendatang. Kami
terpelajar tak seperti kebanyakan orang desa, dan itu bernilai
tambah. Dalam berhubungan dengan aparat di negeri ini,
begitulah tiga hal yang berpengaruh. Uang atau nilai perkara,
koneksi dengan orang besar, dan relasi antar manusia dengan
petugas. Ya, uang, koneksi, dan relasi. Ketiganya sedang ber
pihak padaku kali ini.
Bagaimanapun, karena aku telah terlanjur dibawa ke pos
polisi, aku didaftar sebagai saksi. Mereka mengetik semua
jawabanku betapapun terasa janggal bahkan bagi diriku sen
diri.
T: Apa hubungan Anda dengan Kabur bin Sasus?
J: Saya berpapasan dengannya sekali saja setelah ia
mempersembahkan sesajen di pundak bukit. Kami
sempat mencuri sajennya. Setelah itu kami mencoba
menolongnya sehabis digigit anjing. Tapi ia menolak.
12