Page 126 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 126

Aku  mencoba  masuk  ke  dalam  matanya  yang  bidadari
               terbuka. Aku mencoba menemukan adakah ia menyembunyi­
               kan sesuatu, atau melupakan sesuatu dari masa lalunya. Tapi
               lorong  di  dalam  mata  itu  bersih  dari  segala  serpih  yang  bisa
               menutupi  sesuatu.  Bidadari  merawatnya.  Semua  jendela  di
               lorong  membukakan  diri.  Namun  di  masing­masingnya  aku
               menemukan relung­relung lain yang bening lagi dalam.
                   Tahulah  aku  bahwa  di  antara  kami  berdua  akulah  yang
               pertama  memiliki  rahasia.  Hanya  jika  aku  mengungkapkan
               rahasia  itu  barangkali  aku  akan  menemukan  gemanya  dari
               dalam  lorong­lorong  itu.  Jika  tak  kutiupkan  rahasiaku  ke
               dalamnya, lorong­lorong itu akan tetap membisu.
                   Tapi rahasiaku adalah juga kebodohan—jika bukan kegi­
               laan  atau  kekanak­kanakan—ku.  Beranikah  aku  membagikan
               padanya  bahwa  aku  memiliki  pengunjung  tetap  bernama
               Sebul.  Pengunjung  rahasia.  Sebul,  manusia­serigala­jantan­
               betina, yang kedatangannya bisa membuat aku ereksi, bahkan
               meninggalkan  ceceran  mani  kelak  ketika  terjaga.  Mani  yang
               kubayangkan sebagai miliknya tapi barangkali adalah milikku
               sendiri.  Sebul  yang  mewahyukan  kepadaku  sebuah  bilangan
               bernama fu. Lagipula, bilangan apa pula itu, fu. Bilangan yang
               senantiasa menghasilkan satu jika dibagi maupun dikali satu,
               namun bilangan yang bukan satu. Bilangan mistik yang hadir
               dalam  mimpi­mimpi  kacau  tapi  menyentuh  sesuatu  yang  sa­
               ngat dalam pada diriku. Aku mengagumi bilangan itu seperti
               seorang bocah pertama kali mengagumi ereksinya.
                   Aku tak berani mengungkapkannya. Ini kali pertama aku
               tidak  berani  menyatakan  sesuatu.  Aku  rasanya  tak  pernah
               punya rasa malu. Tapi kali ini aku merasakannya. Perjalanan
               telah  mencapai  momen  yang  membuat  bagian  diriku  yang
               paling  rentan  terdadah  di  hadapan  Parang  Jati.  Ia  tak  tahu
               bahwa aku sedang dilanda ragu dan malu.
                   Aku  menarik  napas  lega  karena  ia  tak  menyadari  yang


             11
   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131