Page 121 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 121
lain di puncak Watugunung tendatenda akan tampak sebesar
biji halma.
Tibatiba terpikir olehku jika ada seseorang yang tak
diketahui telah berada di belakang dan, oleh alasan yang tak
diketahui juga, hendak menjorokkan kami. Aku tak tahu me
ngapa terlintas ide demikian. Barangkali karena penglihatanku
tadi pagi, yang tak boleh kukisahkan kepada temantemanku,
demi Sebul. Tapi aku tak suka dikuasai ketakutan tak berdasar.
Tak satu orang pun kami temui dalam perjalanan ke atas sini.
Tak satu pun, kecuali makhluk yang kulihat tadi pagi. Tuyul
jancuk! Aku tidak suka dikendalikan rasa takut. Tapi aku telah
melihat tuyul tadi pagi. Kenapa tidak mungkin ada sosok lain
yang mengintai saat ini. Mereka barangkali ingin menjorokkan
kami sebagai hiburan hari ini.
Rasa waswas yang lebih masuk akal akhirnya timbul
dari kesadaran bahwa kami berada di posisi yang rawan.
Siapapun orang gila yang tibatiba meloncat ke belakang dan
menjorokkan kami akan berhasil membuat aku dan sahabatku
terjun bebas. Aku segera mengambil posisi berpegangan kuat
pada batu. Lalu kulirik Parang Jati. Dengan heran kutemukan
ia juga sedang melirik kepadaku, meskipun sikapnya belum
tegang. Pertemuan mata kami menyiratkan bahwa kedua kami
merasakan sebuah kehadiran lain. Kami samasama menoleh
ke belakang. Tak terlihat apapun. Sambil menahan napas kami
melangkah perlahan meninggalkan tubir jurang. Dengan aneh
sikap kami sepakat bahwa kami sedang menghindari bahaya.
Meski kami tak tahu apa yang menjadi bahaya itu. Hening.
Angin mendadak mati. Batu yang tersodet itu tenang. Ilalang
diam. Perdu dan pepohonan senyap. Tengkukku meremang.
Sekonyongkonyong suasana seperti dalam mimpi. Udara
tidak terlipat, tapi serumpun semak dekat batu tersodet itu
tersibak. Lalu kulihat sesuatu yang tak masuk akal. Dari
dalam ilalang yang tersingkap itu keluar sesosok makhluk.
111