Page 112 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 112

aku tak setuju pada pemuda K sok suci itu. Ingin kukatakan
               bahwa  seandainya  ada  cukup  waktu,  aku  bukan  tak  mau
               berkenalan dengannya. Meskipun yang terakhir itu, aku tahu,
               tak betul benar. Sebab aku tak pernah menghargai orang­orang
               yang memasang sesajen. Mereka kuanggap percaya tahayul dan
               omongan  mereka  tak  bisa  dipercaya.  Kalau  ia  hidup,  takkan
               kuanggap pendapatnya. Karena itulah, barangkali, tak pernah
               sampai di telingaku berita tentang sekawanan ternak yang mati
               dengan gejala serangan vampir di Watugunung ini.

                   Gerimis dan mendung membuat pagi datang begitu lam­
               bat. Aku mencoba menebak­nebak letak kuburannya di mata
               kaki  Watugunung.  Aku  mengikuti  arah  rombongan  keranda
               semalam berjalan sebagaimana aku ingat. Aku cukup mengenal
               tempat  ini.  Di  sebuah  sisi  ada  sebidang  tanah  landai  yang
               terbuka. Seperti dugaanku, aku menemukan gundukan tanah
               merah dengan papan tripleks terpasak di sana. Sebuah nama
               tampak telah dikuaskan dengan terburu­buru. Kabur bin Sasus.
               Itulah yang tertulis dengan cat merah yang melobor di serat­
               serat  kayu.  Dengan  takjub  kusadari  betapa  namanya  adalah
               tanda.  Warna  itu  rembes  seperti  darah  mentah  dalam  film
               horor  murahan.  Biasanya,  setelah  ini  Suzanna  akan  muncul.
               Ia mengenakan gaun putih. Kelopak matanya bersepuh hitam.
               Gincunya  melebar  melebihi  bibirnya.  Sebab,  ya,  ketahuilah,
               sebab  itu  bukanlah  gincu  melainkan,  hiii,  darah…  Lalu  ia
               membalik  badan,  membelakangi  kita,  dan  tampaklah  bahwa
               punggungnya  gerowong.  Dia  adalah  si  Sundel  Bolong.  Ia
               mengenakan  baju  terbuka  di  punggung  untuk  menegaskan
               lubangnya. Ia berputar menghadap kita lagi, membuka mulut­
               nya,  memperlihatkan  taringnya  yang  panjang.  Ia  mengambil
               sesuatu dari balik punggungnya—barangkali dari liang di pung­
               gungnya;  sesuatu  yang  dari  tangisnya  kita  tahu  itu  adalah
               seonggok  bayi.  Si  Sundel  Bolong,  matanya  telah  memutih


            102
   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117