Page 220 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 220

memakai  rambut  palsu  dan  bergincu.  Ia  mengenakan  make-
               up—kusadari ketika aku semakin dekat. Riasan itu beralur­alur
               luntur oleh keringat. Di mataku ia tampak bagaikan seekor ban­
               ci seusai diburu­buru petugas dinas susila. Barangkali dubur­
               nya masih berleleran sperma pelanggan yang kabur. Tanganku
               dingin dan lidahku kelu saat tiba giliran untuk bertemu.
                   Parang Jati melihat padaku. Aku, mulutku terkunci.
                   Marja  maju  dan  mengambil  tangan  sahabatku  dengan
               bersemangat. Gadisku tak kehilangan suara ceria dan manja­
               nya. Ia menjerit seperti tak terjadi apa­apa. “Jati! Masih ingat
               aku,  kan?  Yang  waktu  itu….”  Marja  tertawa  genit,  seolah
               mengingatkan kenakalan kami padanya. “Kamu  hebat  sekali,
               ya! Keren!” Ia juga membagi perhatian kepada wanita Dayang
               Sumbi,  mengatakan  kepadanya  bahwa  menurut  pendapatku
               ia  cantik,  sungguh  seperti  Suzanna  di  masa  muda.  Marja
               membagi  perhatian  dengan  santun  seolah  wanita  itu  adalah
               istri sahabatku.
                   Mulia  hati  kekasihku  Marja.  Ia  bisa  saja  mencemooh
               sahabatku,  setelah  aku  mencemooh  teman­temannya  tadi.  Si
               Bo’im dan bimbo­bimbonya.
                   Aku  masih  tergagap  menghadapi  sahabatku.  Kukatakan
               padanya  betapa  hebat  dia.  Betapa  layak  bahwa  ia  memanjat
               bersih.  Betapa  dialah  yang  sesungguhnya  pemanjat,  bukan
               aku. Tapi di matanya aku menangkap rasa malu yang ia coba
               tenggelamkan  dalam­dalam.  Rasa  malu  itu  semakin  besar
               menyakitkan sebab ia tahu bahwa aku prihatin atas dirinya. Ia
               tahu, sebab  aku tak mengeluh  bahwa  ia tak mengungkapkan
               semua ini sebelumnya. Ia tahu, sebab aku tidak protes, seolah­
               olah  pertemuan  ini  bukan  sebuah  kebetulan.  Sebab  diamku
               seolah­olah perjumpaan ini wajar dan terencana. Seolah­olah
               aku memang datang karena ia undang untuk menonton per­
               tunjukannya. Seolah­olah aku tidak memergoki rahasia yang ia
               coba tutupi. Dan semua itu menunjukkan bahwa akulah yang
               kini sedang menutupi perasaanku. Ia tahu itu.


            210
   215   216   217   218   219   220   221   222   223   224   225