Page 217 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 217

menirukan  gagah  binaraga,  para  pesilat  mengangkat  tangan
                 dan mengayunkannya keras­keras pada tumpukan. Sahabatku
                 tampak mengejang oleh jepitan. Batu bata berhamburan. Se­
                 bagian pecah terbelah. Setelah itu ia mengangkat tangannya,
                 menunjukkan bahwa kedua jarinya tidak cedera. Tapi wajahnya
                 tidak bangga tidak bahagia.
                      Aku tak mengerti, apa yang ia lakukan di tempat ini.
                     Juru acara berbicara kepada penonton sambil memamer­
                 mamerkan  tangan  berjari  enam  kawanku.  Pada  saat  itulah,
                 tatapannya menyapu penonton.
                     Dan matanya yang sedih menangkap kehadiranku.
                     Pertemuan pandangan itu mencekatku. Pada detik itu aku
                 merasa sangat menyesal berada di sini sehingga memergoki dia
                 di tengah sirkus gelap ini. Pada saat itu belum ada waktu untuk
                 berjarak  dan  menimbang  kembali  pertunjukan  yang  terjadi.
                 Pada saat ini seluruh sirkus Klan Saduki terasa tidak terhormat
                 dan  mengeksploitasi  orang­orang  cacat.  Pada  saat  ini  segala
                 yang  ditawarkan  di  dalam  tenda  raksasa  ini  adalah  takhayul
                 dan  ketololan  untuk  ditonton  sebagai  bahan  tertawaan.  Oleh
                 orang­orang terpelajar seperti aku. Aku datang dengan segala
                 kejahilan,  untuk  mencemooh  segala  yang  disodorkan.  Dan
                 kutemukan sahabatku menjadi badut perkasa di sana.
                     Aku bagaikan melihat Parang Jati menjadi penari telanjang
                 di meja bar. Ia memakai wig dan menggeliat­geliatkan pinggul
                 di sekitar tiang alumunium yang dingin. Di bawahnya orang­
                 orang menonton. Sebagian senang. Sebagian melihat tidak pe­
                 duli. Sebagian asyik dengan rokok dan bisnis sendiri. Sahabat­
                 ku menanggalkan penutup badannya selembar demi selembar.
                 Yang senang semakin senang. Yang tak peduli melirik sebentar.
                 Yang asyik dengan diri sendiri tak sedikit pun menoleh. Aku
                 tak  tahu,  mana  yang  lebih  baik:  mereka  yang  menikmati
                 kehinaan sahabatku, atau mereka yang tak mengacuhkannya.
                 Dan aku, aku memergoki orang yang kucintai dan kubanggakan


                                                                        20
   212   213   214   215   216   217   218   219   220   221   222