Page 212 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 212
ditambahkan. Gendruwo jantan itu sangat besar. Tingginya
dua meter lebih. Gendruwi masih sejangkung manusia normal
di negeri ini, bertubuh tambun kedodoran. Keduanya memiliki
belangbelang hitam yang nyaris memenuhi sekujur tubuh
mereka. Pada warna hitam itu tumbuh bulubulu berjerangut.
Mata mereka bulat seperti yang digambarkan dunia wayang
tentang para buta dan raksasa. Tapi yang kulihat di sana
bukan pancaran kerakusan, melainkan campuran kemarahan
dan kesedihan. Aku mengalihkan pandangan dari mata itu.
Mereka mengenakan pakaian yang menyerupai paduan asesori
raksasa pewayangan dan perhiasan primitif. Kalung dari gigi
binatang buas. Kain batik yang dipadu dengan bulubulu
unggas. Sepasang gendruwo itu masingmasing memegang
gong tangan. Mereka mengangkat gong itu dan memukulnya.
Suara bergaung. Anakanak berteriak minta pulang.
Seperti untuk memenuhi panggilan gong seseorang berlari
naik ke panggung. Ia membawa tampah berisi dua ekor ayam
mentah. Ia merunduk kepada Sang Raksasa dan Raksasi sam
bil menaikkan nyiru. Kedua makhluk berbulu itu melongok
kepada isi persembahan. Gendruwo jantan mengangkat daging
ayam seekor utuh pada cakarnya. Darah menetes dari leher
unggas yang terkulai patah. Aku menahan tekanan di dalam
lambungku. Marja menangkupkan kepalanya ke dadaku sam
bil membisikkan rasa jirih. Penonton mengeluarkan suara
tertekan. Gendruwo jantan itu mengangkat ayam tinggitinggi,
ke dekat mulutnya. Tibatiba ia melempar ayam itu sambil
mengeluarkan teriakan marah. Yang betina mengamuk dengan
menjungkirkan nyiru dari tangan punggawa yang masih berlu
tut di depan mereka. Ayam mati itu terbang, telanjang dan
jatuh di luar arena. Orangorang menjerit.
Gendruwo jantan dan betina maju sambil memukul gong
ke arah penonton. Mereka berseru seperti menyiarkan maklu
mat:
202