Page 210 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 210
Lalu muncullah Sang Macan Jadian. Kemunculannya men
cairkan keteganganku. Ia tampak seperti manusia biasa. Hanya
saja ia berjalan merangkak dan menoleh kanankiri seperti
seekor kucing besar. Ia melenggaklenggok seolah memiliki
ekor panjang di bokongnya. Tibatiba ia mengaum dengan
suara serak harimau lapar. Orangorang bertepuk tangan dan
tertawa. Kusadari aku pun tertawa, sebuah tawa yang ganjil.
Bukan karena terbawa orang lain tertawa. Melainkan karena
gerakgeriknya yang jenaka membebaskan aku dari rasa tak
nyaman yang baru saja mencekatku. Si Macan Jadian adalah
badut gorogoro di tengah tontonan yang menyesakkan dada.
Tapi pertunjukan berlanjut. Sang Manusia Kadal dipang
gil. Beberapa saat kami tak melihat apapun. Lalu terdengar
suara anak kecil dari belakangku, “Itu dia, itu dia!” Ke arah
suaranya pergi aku melihat sesuatu yang nyaris rata dengan
panggung tengah mendekati pusat. Sesuatu itu menempel
pada lantai arena, bergerak merayaprayap. Ia begitu rendah
sehingga ia tak segera tampak. Pada suatu titik ia meninggikan
sedikit ungkitan siku dan lututnya dari lantai, seperti seekor
komodo yang siaga. Ia menegakkan kepala. Ketika itulah aku
melihat kulitnya bersisik pecahpecah seperti pohon tua tempat
sembunyi reptil raksasa. Ia menjulurkan lidahnya panjang
panjang. Selembar daging merah muda yang terbelah dua
seperti ujung pakis menjangan. Poriporiku meremang. Bukan
karena bentuk sosok itu, melainkan karena ia bergerakgerik
dengan akting yang buruk. Yang menandakan bahwa ia bukan
jelmaan manusia kadal, atau kerasukan roh kadal, melainkan
manusia malang yang harus berakting agar kekadalannya
menghibur penonton.
“Inilah manusiamanusia aneh,” teriak juru acara tanpa
penghalusan ataupun rasa bersalah. Ia melanjutkan cerita.
Bahwa sosoksosok itu lahir dari para orangtua yang melanggar
pamali ketika mereka dikandung. Sang Manusia Gajah yang
200