Page 205 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 205

Lalu ia mengeluarkan komputer yang apelnya segera me­
                 nyala kelap­kelip.
                     Dengan  segera,  ketiga  perempuan  di  meja  itu  bermata
                 binar­binar  ketika  menatap  pada  layar  yang  bercahaya.  Aku
                 berpindah  ke  belakang  mereka  dan  mengikuti  lembar  demi
                 lembar  laman  maya  milik  si  Bo’im.  Setelah  itu  giliran  situs
                 si  jomblo  berwajah  ceper  yang  minta  disimak.  Ia  membikin
                 desain produk distro. Dua telepon genggam berbunyi serentak.
                 Dua orang ngobrol dengan orang yang tak ada di sana. Tak satu
                 pun bertanya lebih lanjut tentang stand yang Marja rencanakan
                 di pameran interior desain. Ketika itulah aku beranjak, turun ke
                 jalan Dago dan membeli setangkai mawar merah muda.
                     Sesaat aku menonton orang­orang di jalan. Klakson ber­
                 bunyi  karena  ada  yang  masih  belanja  padahal  lampu  telah
                 hijau.  Seorang  gadis  tertawa  bergigi  hitam  karena  baru  saja
                 menyikat  jagung  bakar.  Pengamen  memainkan  lagu  selamat
                 tidur  kekasih  gelap.  Setelah  itu  aku  naik  kembali  ke  teras  di
                 lantai dua. Kuberikan bunga itu pada Marja dan kuajak ia pergi
                 dari sana.


                     “Kamu kok tahan sih ngobrol sama si Bo’im dan bimbo­
                 bimbonya  itu,”  kataku  mengejek  ketika  kami  sudah  dalam
                 mobil.
                     Marja tertawa. “Kenapa emang? Mereka lucu, lagi.”
                     “Lucu apanya?”
                     “Lucu aja.” Kekasihku angkat bahu dengan ringan. “Rame.”
                     Aku tahu aku kurang toleran. Tak seperti Marja, aku sangat
                 memilih  kawan.  Aku  tak  tahan  menghabiskan  waktu  dengan
                 makhluk­makhluk  yang  sangat  permukaan.  Kaum  medioker.
                 Bangsa semenjana. Aku tak punya banyak teman. Tapi, untuk
                 apa banyak teman kalau mereka hanya tertarik pada permuka­
                 an  diri  sendiri?  Bahkan  tentang  diri  sendiri  pun  mereka  tak




                                                                        1
   200   201   202   203   204   205   206   207   208   209   210